09 Desember 2007

Refungsionalisasi dan Reinterpretasi Budaya (Upacara Kematian pada Masyarakat Aceh)

Oleh: Sudirman, S.S.

Pendahuluan
Setiap kebudayaan yang dibicarakan seiring dengan agama, bermakna bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk, sedangkan agama adalah sesuatu yang diberikan Allah. Perbedaan konseptual yang sebenarnya belum dapat dikompromikan, meskipun dapat saja dikatakan bukankah yang percaya kepada Tuhan itu juga manusia.

Apabila agama dan kebudayaan berada dalam analisis yang berbeda, maka kebudayaan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, harus disadari bahwa masyarakat adalah hasil konseptualisasi, bukan realitas sesungguhnya. Secara konseptual masyarakat muncul karena kumpulan individu-individu dan masyarakat kemudian menghasilkan simbol-simbol.

Kebudayaan Islam mempunyai dua aspek. Pertama, simbol-simbol yang terpancarkan dari ajaran agama yang abadi dan universal kepada para penganutnya.. Agama yang abadi dan universal itu kemudian memberikan jembatan antara ajaran dengan kesadaran dan membebaskan manusia secara spiritual dan intelektual dari keterikatannya pada tempat, waktu, dan struktur objektif yang mengitarinya. Dengan demikian, kebudayaan Islam adalah usaha penterjemahan agama ke dalam konteks zaman dan lokalitas. Aspek kedua, agama adalah sebagai inspirasi kultural dan estetik. Ajaran agama yang diwahyukan adalah wilayah intelektual dan spiritual yang terbatas. Ada wilayah yang menjadi rahasia Tuhan dan wilayah yang dapat dimasuki oleh manusia. Dari inspirasi kultural dan estetik itu muncul berbagai budaya.

Berkaitan dengan studi yang berkaitan dengan masyarakat Islam, dapat didekati dari tiga sudut pendekatan yang setiapnya menampilkan wujud Islam dalam gambar yang berbeda. Ketika pendekatan itu dikenal dengan Islam Normative, Islam Interpretatif, dan Islam Practice. Islam normative adalah sebagaimana yang dirinci dalam Alquran dan Hadist. Islam interpretative yang difahami dan diinterpretasikan oleh para ulama Islam terhadap Alquran dan Hadist. Sementara Islam practice sebagaimana terwujud dalam dalam bentuk prilaku umat Islam, baik aktivitas sehari-hari maupun aktivitas budaya umat Islam.

Dalam kerangka metodologi Antropologi melihat prilaku ritual dan aktivitas budaya umat Islam. Apa makna yang dapat difahami dari seluruh simbol-simbol dari upacara budaya umat Islam. Data-data yang diperoleh diinterpretasikan dan mengkonstruksikan data tersebut ke dalam makna-makna khusus.

Demikian halnya yang terjadi pada salah satu upacara masyarakat Islam di Aceh terutama di pantai selatan dan barat, yaitu upacara kematian. Secara normativ, upacara itu hanya meliputi empat hal, yaitu memandikan, menkafankan, mensalatkan, dan menguburkan. Namun kemudian berkembang menurut zaman, situasi dan kondisi. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba melihat, sejauhmana pengaruh interpretatif dan praktis terhadap upacara tersebut. Selanjutnya berusaha melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memaknai dan interpretasi terhadap upacara tersebut. Masih relevankah dengan situasi dan kondisi masa kini serta adakah melakukan refungsionalisasi terhadapnya.

Deskripsi dan Analisis Upacara
Upacara kematian adalah seperangkat upacara yang dilakukan mulai orang meninggal hingga proses penguburan. Kegiatan-kegiatan itu mulai dari meninggal, membuat keranda, membuat kafan, memandikan mayat, dan penguburan mayat di kuburan.

Suatu kebiasaan pada masyarakat Aceh apabila seseorang sedang mengalami sakit parah maka semua kerabat diberitahukan supaya dapat menjenguknya sebelum ia meninggal. Apabila tidak diberitahukan akan terjadi ketidakharmonisan dalam hubungan keluarga, karena seakan-akan oleh keluarga yang mengalami musibah itu tidak menghiraukan kerabatnya.

Apabila orang sakit parah itu sedang menghadapi maut (sakratul maut), ahli famili yang duduk di sekelilingnya geu peu entat (mengantarkan) dengan membisikkan ucapan Lailahaillallah pada telinga orang yang sedang menghadapi maut. Hal itu dilakukan karena masyarakat Aceh menganggap bahwa kalimat itu didengar dan diikuti oleh orang yang sedang menghadapi mati walaupun tidak kedengaran. Apabila seseorang yang mati dengan mengucapkan kalimat Lailahaillallah maka ia mati sebagai seorang muslim dan masuk surga, sehingga geu peu entat itu merupakan keharusan bagi masyarakat Aceh. Selain dengan kalimat Lailahaillallah, kadang kala juga dilakukan dengan dengan pembacaan Surat Yasin dalam Alquran. Hal itu dimaksudkan apabila yang sakit itu belum ajal maka akan disegerakan sembuhnya dan sebaliknya apabila yang sakit itu sudah ajalnya maka akan disegerakan dan meninggal dengan selamat. Setelah seseorang diyakini meninggal, maka mayat tersebut diletakkan di atas suatu tempat dan ditutup dengan kain panjang.

Selanjutnya, salah seorang dari keluarganya datang memberitahukan yang pertama-tama kepada teungku imam yang ada di kampung kemudian kepada semua kerabat baik yang dekat maupun yang jauh. Pemberiatuan kepada masyarakat gampong dilakukan oleh teungku meunasah atau orang lain dengan memukul tambur sesuai dengan irama dan jumlah pukulan menurut kebiasaan. Bunyi tambur untuk orang yang meninggal biasanya pukulan tambur sampai 7 ronde, yaitu ronde pertama sebanyak tiga kali pukul, kemudian berhenti, kemudian dipukul lagi tiga kali sampai dengan pukulan yang ketujuh. Apabila masyarakat gampong mendengar yang demikian, mereka berbondong-bondong datang ke rumah di tempat orang yang mati tersebut.

Setelah mereka berkumpul, seakan-akan aktivitas diambil alih oleh teungku meunasah dan geucik. Tuan rumah hanya bertanggung jawab di bidang material yang dibutuhkan dalam kegiatan itu. Pada saat itulah teungku meunasah dan geucik mendistribusikan pekerjaan kepada warga gampong. Anak-anak muda dikerahkan menggali kuburan, anak-anak perempuan dikerahkan mengangkut air mandi mayat, orang yang lebih tua dikerahkan untuk membuat keureunda (peti mayat) dan kafan.
Persiapan-persiapan yang dibutuhkan terutama kain kafan, papan keureunda, kikisan kayu cendana, kemeyan, kapur barus, minyak wangi, dan jenis bunga-bungaan yang harum. Hal itu dimaksudkan supaya mayat tersebut menjadi wangi dan harum, yang akan menghadap sang penciptanya. Acara memandikan mayat, buat keureunda, dan kafan sering dilakukan serentak dengan cara pembagian tugas pada warga gampong. Masyarakat Aceh berkeyakinan bahwa mempercepat penguburan mayat adalah lebih utama.

Mandi Jenazah
Acara mandi mayat dilakukan di rumah orang yang meninggal, walaupun berjauhan dengan sumur atau sungai untuk mengambil air. Kalau acara mandi tidak dilaksanakan di rumah, suatu keayiban pada kerabat yang ditinggalkan, seakan-akan tidak begitu perhatian terhadap orang yang meninggal. Bagi rumah yang berjauhan dengan sungai atau sumur maka dikerahkan tenaga anak-anak muda untuk mengangkut air, biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh anak-anak perempuan. Akan tetapi rumah-rumah di gampong pada umumnya mempunyai sumur dekat rumah.

Setelah persiapan-persiapan mandi disiapkan, maka teungku membaca doa sambil meremas-remas air ramuan yang disebut dengan air sembilan. Kemudian air diambil dengan baskom, lalu dituangkan oleh teungku kepada mayat dengan sangat perlahan-lahan, agar tubuh mayat tidak terasa sakit atau terkejut. Sebagian masyarakat Aceh beranggapan walaupun mayat sudah meninggal tetapi ia masih merasa, selain itu juga diyakini bahwa menyakiti orang yang sudah meninggal sama dengan menyakiti ketika ia masih hidup.

Anggota yang memandikan mayat terdiri atas kaum kerabat ditambah dengan teungku. Apabila yang meninggal itu seorang perempuan maka yang memandikan mayat itu semuanya perempuan. Setelah mayat dimandikan dengan air biasa, kemudian teungku mengambil air sembilan yang berisi ramuan-ramuan terutama jeruk purut dan lain-lain ramuan yang wangi lalu disiram pada tubuh mayat sebanyak sembilan kali. Oleh sebab itu disebut dengan air sembilan. Setelah itu mayat kembali disiram dengan air biasa.
Apabila kematian terjadi pada malam hari, dengan sendirinya orang berjaga sampai pagi hari, dalam hal itu yang meninggal itu diberi senjata untuk melawan jin-jin jahat berupa sebuah pisau kecil diletakkan di bawah bantalnya, dan orang-orang yang berjaga di dekatnya, sementara sebuah lampu dinyalakan di dekatnya. Penjagaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai mayat disentuh oleh seekor kucing, sebagian masyarakat menganggap, apabila mayat tersentuh kucing, roh yang mati akan menjelma menjadi hantu.

Kafan
Apabila mayat sudah dimadikan, kafan pun sudah disiapkan. Bagi orang yang mampu kain kafan itu sampai tujuh lapisan, dan bagi yang biasa hanya sampai tiga lapis saja. Kafan itu terdiri atas baju, celana, dan kain pinggang, kemudian ditambah dengan tiga buah bantal yang diisi dengan daun belimbing. Bantal itu diletakkan di kepala, pinggang dan di bagian lutut. Bantal itu berfungsi sebagai penahan agar mayat dalam keureunda tidak goyang atau terbalik.

Bentuk atau model kafan yang dipotong itu, tidak dijahit seperti menjahit celana biasa, melainkan dengan cara membentuk saja menyerupai celana, baju dan kain pinggang dengan cara memotong dengan gunting pada ujungnya, kemudian dikoyak dengan tangan. Pengoyakan dengan tangan itu memang suatu kebiasaan membuat kafan bukan berarti tidak dapat dipotong dengan gunting. Setelah kafan dikenakan pada tubuh mayat, lalu diikat dengan tali. Tali pengikat itu khusus dirobek dari pinggiran kain kafan tadi, bukan dengan tali lain.

Salat Jenazah
Setelah mayat selesai dibungkus dengan kain kafan, seterusnya mayat itu dimasukkan ke dalam keureunda (peti mayat). Keureunda yang telah berisi mayat, kemudian dibungkus dengan kain panjang. Setelah peti mayat itu dibungkus dengan kain, lalu peti mayat itu diusung bersama-sama ke meunasah atau mesjid untuk disalatkan, apabila jauh dengan meunasah atau mesjid, akan disalatkan di rumah. Anggota pengusung itu biasanya oleh kaum kerabat dari orang yang meninggal. Selain itu, dibantu pula oleh warga gampong, sedangkan yang lainnya mengikuti dari belakang.

Setelah sampai ke mesjid atau ke meunasah, mayat diletakkan di muka sekali dengan posisi kepala mayat ke sebelah utara dan kaki ke sebelah selatan.
Acara shalat jenazah dipimpin oleh teungku imeum dan diikuti oleh para jamaah lainnya. Kadang-kadang oleh teungku menanyakan terlebih dahulu pada keluarga yang meninggal, kalau ada di antara anggota keluarga itu untuk menjadi imam. Setelah shalat mayat selesai adakalanya memberi sedekah kepada orang yang ikut shalat mayat dan terkadang hanya kepada teungku saja.

Penguburan
Setelah jenazah siap untuk dikuburkan, maka pelaksanaannya harus segera dilakukan. Mayat diusung bersama-sama ke kuburan. Orang-orang yang mengusung terdiri atas keluarga yang meninggal, biasanya mengusung bagian kepala dan kaki, kemudian dibantu oleh para warga gampong. Pengunjung yang lain mengikuti dari belakang hingga ke kuburan. Di kuburan telah ditunggu oleh mereka yang menggali kuburan tadi. Mereka itu terdiri atas anak-anak muda gampong, yang dipinpin oleh seorang tua.

Setelah sampai ke lokasi kuburan, usungan mayat diletakkan di pinggir lubang kubur. Kemudian mayat diangkat dengan perlahan-lahan sambil dipayungi, terus dimasukkan ke dalam kubur. Semua ikatan bungkusan mayat tadi dilepaskan. Tindakan itu dilakukan karena ada di antara masyarakat beranggapan bahwa apabila mayat tidak dibuka ikatannya maka roh dari mayat itu akan menjadi burong punyot (syaitan berbalut).

Setelah mayat dimasukkan ke dalam kubur dan ikatan dari bungkus mayat yang diikat dari kafan tadi dilepas semua maka teungku dengan mengucapkan bissmillah... sambil mengambil tanah satu genggam kemudian menjatuhkan ke dalam kuburan dengan perlahan-lahan sekali. Kemudian baru diikuti oleh orang lain untuk menimbun lubang kuburan itu dengan cara perlahan-lahan pula. Hal itu dilakukan demikian sebagai penghormatan kepada mayat. Selain itu, juga agar tubuh mayat jangan terasa sakit dengan benturan tanah.

Setelah kuburan ditimbun dengan baik dan rapi dengan sedikit gundukan tanah, lalu diberi tanda di kepala dan bagian kaki dengan pohon tertentu, biasanya pohon jarak dan pohon pudeng atau yang lainnya, sebagai tanda bahwa di tempat itu sudah ada kuburan atau sebagai tanda jangan bertukar dengan kuburan lain, tanda itu masih bersifat sementara sebelum diganti dengan batu nisan.

Selanjutnya, di atas kuburan disiram dengan air campur bunga dan jeruk purut oleh teungku sebanyak tiga kali dari posisi kepala ke kaki. Penyiraman itu dilakukan sebagai isyarat bahwa mayat itu sangat haus dan perlu diberi minum, dan isyarat lain sebagai komando untuk membangunkan roh agar si mati tahu bahwa ia telah mati. Kemudian teungku menyuruh hadirin untuk duduk berdekatan atau berkeliling kuburan, lalu teungku membaca doa talkin.

Kemudian teungku membaca talkin, lalu teungku melanjutkan dengan membaca doa selamat dan penutupan atas penguburan mayat dan kepada hadirin diminta untuk menadahkan tangan ke atas sambil menyebut dengan sahutan amiin. Setelah itu mereka pun pulan ke rumah masing-masing.

Setelah selesai acara penguburan mayat, keluarga yang ditinggalkan biasanya menyiapkan suatu tempat khusus yang dihiasi dengan belbagai perangkat tidur yang diperuntukkan kepada roh orang yang sudah meninggal. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa roh orang yang sudah meninggal itu masih kembali dan mengunjungi rumahnya, sehingga perlu disiapkan tempat seperti itu sebagai perlambang juga bahwa ia telah meninggal.

Geumunjong
Suatu kebiasaan bahkan sudah menjadi suatu keharusan bagi masyarakat, apabila seseorang meninggal, maka orang lain akan berkunjung ke rumah orang yang meninggal tersebut. Hal itu dilkakukan sebagai rasa kebersamaan dan ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang yang terkena musibah.
Dalam kunjungan tersebut, biasanya orang memberi uang, atau beras menurut kemampuan masing-masing. Acara geumunjong itu juga dimanfaatkan sebagai ajang ukhuwah untuk saling mengunjungi. Tuan rumah biasanya hanya memberi air minum berupa teh manis, kopi atau air putih.

Kenduri
Setelah selesai upacara penguburan mulai dari hari pertama sampai dengan hari keenam mayat dalam kuburan, upacara-upacara yang dapat digolongkan besar tidak diadakan. Dalam waktu-waktu itu acara hanya sekedar dilakukan untuk memberi makan seorang atau beberapa orang pengikut teungku yang melakukan samadiah setelah salat maghrib selama enam hari. Pemberian makan itu dilakukan sebagai ganti memberikan makan kepada orang yang telah meninggal, karena sebelum hari ketujuh dianggap roh orang mati itu masih tetap di rumah, bersama keluarganya.

Adakalanya dalam waktu-waktu sebelum hari ketujuh itu diadakan pula samadiah, tergantung permintaan dari keluarga yang meninggal. Pada malam pertama sering dihidangkan dengan ie bu puteh (air nasi putih) semacam dodol yang putih warnanya dibuat dari tepung. Pada malam ketiga dengan kue pampi (kue bugis), malam keempat dengan cingkhui sejenis lontong, dan malam kelima dengan kue putro manou (tepung bentuk bulat).

Sebelum kenduri ketujuh tiba, keluarga yang meninggal sudah tampak sibuk menyediakan persiapan-persiapan. Persiapan itu dapat dibagi atas dua macam, yaitu persiapan ringan berupa kue-kue dan persiapan untuk makan. Apabila kenduri tujuh dilakukan secara besar terutama bagi orang yang mampu biasanya ia menyembelih kambing bahkan kerbau pada siang harinya. Apabila pada hari ketujuh itu tidak dilakukan upacara kenduri, masyarakat banyak membincang bahwa seakan-akan keluarga orang yang meninggal tidak menghiraukan orang yang sudah meninggal bahkan dianggap sama seperti hewan yang mati.

Pada malam yang ketujuh semua kerabat dan tetangga yang berdekatan datang menghadiri upacara malam ketujuh. Para kerabat biasanya membawa bahan-bahan mentah berupa beras, kelapa, dan sayur-sayuran, gula, uang, dan lainnya. Kerabat biasanya sudah terlebih dahulu datang sebelum malam ketujuh, untuk membantu pelaksanaan upacara. Sedangkan tetangga dan masyarakat lainnya membawa aneka kue bagi perempuan dan gula oleh orang laki-laki.

Setelah semua tamu datang, teungku mulai memimpin upacara yang didahului dengan samadiah. Biasanya upacara itu berlangsung dalam waktu yang lama samapai dua atau tiga jam. Semua peserta turut mengikuti pembacaan samadiah. Mula-mula dibaca oleh teungku, kemudian diikuti oleh peserta. Peserta mengikuti upacara itu dengan penuh khidmat sambil mengharapkan agar pembacaan samadiah diterima oleh Allah dan berpahala, juga dapat mengampuni dosa-dosa yang pernah diperbuat selama yang meninggal masih hidup di dunia.

Setelah pembacaan samadiah selesai, upacara dilanjutkan dengan acara makan kenduri. Adakalanya makan kenduri itu dilakukan sebelum pembacaan samadiah, hal itu tergantung kepada kesepakatan antara tamu dengan keluarga orang yang meninggal. Kalau acara makan kenduri diadakan sebelum pembacaan samadiah, maka setelah pembacaan samadiah disajikan dengan acara minum dan makan kue-kue.

Selesai acara pembacaan samadiah, acara terus dilangsungkan dengan pembacaan Alquran. Peserta terdiri atas orang-orang yang sanggup membaca Alquran dengan lafal dan irama yang baik. Acara dipimpin oleh teungku, setelah teungku membaca pertama, kemudian diikuti oleh peserta lainnya yang duduk di sebelah kanan teungku, dan terus bergiliran menurut tempat duduk. Posisi duduk biasanya melingkar maka acara pembacaan pun terus berlingkar hingga selesai acara. Adakalanya, pembacaan ayat Alquran terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan samadiah.

Apabila acara pembacaan Alquran sudah selesai, maka teungku menutup acara dengan pembacaan doa. Para peserta lainnya menadah tangan ke atas sambil menyebutkan amiiin. Ketika pembacaan doa hampir selesai, salah seorang anggota keluarga bangun memberikan sedekah, biasanya dimasukkan ke dalam kantong baju peserta. Banyaknya jumlah uang yang disedekahkan itu tergantung pada kemampuan keluarga yang meninggal.
Kenduri dan sedekah yang diberikan kepada tamu itu mempunyai tujuan agar mendapat pahala dan sebagai pemberian kepada roh yang meninggal. Karena ada di antara masyarakat yang beranggapan bahwa roh orang yang meninggal itu sebelum 40 hari masih selalu mengunjungi rumahnya. Oleh sebab itu kepada roh itu perlu diberi makan. Jadi semua pemberian kepada tamu sebagai ganti memberikan kepada orang yang sudah meninggal.

Pula batee
Pada hagi harinya, anggota keluarga bersama seorang teungku mengunjungi kuburan dengan maksud melakukan upacara pula batee (menanam batu nisan) dan menabur batu putih di atas kuburan. Setelah itu, dilakukan upacara siraman, yaitu menyiram di atas kuburan sebanyak tiga kali dengan air ramuan wewangian yang sudah disiapkan. Upacara menanam batu nisan dan siraman dipimpin oleh teungku, setelah teungku menanam batu nisan, lalu membaca doa, bagi orang yang mampu akan memberi sedekah seadanya. Selain itu, juga sudah disiapkan nasi ketan untuk dibagikan di kuburan termasuk kepada teungku.

Setelah selesai upacara kenduri ketujuh, upacara baru dilakukan lagi pada hari keempatbelas yang disebut dengan kenduri duaseun tujuh, kenduri keempat puluh dan seterusnya, tergantung kemampuan keluarga yang ditinggalkan. Maksud upacara itu sama seperti upacara-upacara sebelumnya, yaitu untuk menghormati roh orang yang sudah meninggal karena dianggap roh orang yang sudah meninggal masih mengunjungi rumah bersama keluarganya.

Refungsionalisasi dan Reinterpretasi Upacara Tradisional
Pengembangan kebudayaan harus diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan makna pada pembangunan dalam segenap dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara serta ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia serta memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.

Kebudayaan lokal di daerah harus dikembangkan dan diberdayakan guna menunjang pembangunan daerah. Pengembangan kebudayaan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia baik yang bersifat materi, etis, maupun estetis. Pengembangan kebudayaan merupakan bagian dari upaya bangsa dalam menghadapi globalisasi dan mengantisipasi masa depan dengan segala masalah dan tantangannya. Warisan budaya masa lalu tetap penting dan bermakna, namun harus ditambah dengan nilai-nilai baru secara kreatif dan disesuaikan relevansi zaman. Pengembangan kebudayaan juga diarahkan pada keutuhan pandangan guna membentung munculnya perpecahan dan kontradiksi di kalangan masyarakat yang pluralistik.

Nilai-nilai budaya yang perlu dipertahankan dalam pembangunan adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan, seperti hidup hemat, berhati-hati, bersih, dan bersemangat. Nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan dan kekuasaan alam, misalnya inovasi teknologi sesuai dengan lingkungan dan potensi alam. Nilai budaya yang memandang tinggi hasil karya manusia, yaitu motivasi untuk berbudaya kreatif dan produktif, serta berkarya sendiri. Nilai budaya yang mendorong pada kemandirian, percaya diri, untuk mencapai sesuatu keberhasilan yang tinggi. Nilai budaya yang mengembangkan tanggung jawab bersama sehingga mau berpartisipasi, bergotong royong, toleransi, dan mau hidup berdampingan. Selanjutnya, nilai-nilai dasar yang perlu dikembangkan adalah nilai-nilai yang menitikberatkan pada perjuangan kelayakan hidup, yaitu pengemban nilai-nilai ekonomi agar terlepas dari kemiskinan. Nilai-nilai yang mempertahankan jati diri atau mempertahankan keberadaan, yaitu ingin menciptakan masyarakat yang makmur dan adil. Nilai yang berhubungan dengan wawasan kebangsaan, terutama dalam menghadapi dunia yang semakin terbuka, budaya inovatif, kreatif, dan produktif. Nilai yang melindungi kehidupan yang bersama yang plural, yaitu solidaritas, keadilan dan pemerataan. Nilai ekonomi yang mengimbau terjadinya persaingan yang sehat dalam dunia global, inovatif, menciptakan nilai-nilai baru. Nilai aman, damai, tentram, yang menciptakan kondisi membangun yang cepat dan terkenal kembali. Nilai berinteraksi dengan lingkungan, demi kelestarian potensi alam sehingga ada rasa bertanggung jawab terhadap generasi yang akan datang.

Untuk itu, budaya daerah khususnya upacara kematian yang ada di masyarakat perlu ditinjau kembali, apakah upacara itu masih relevan dengan zaman yang semakin kompleks, seperti dari segi waktu, tenaga, hemat dan kebersihan. Hal itu dapat kita perhatikan, misalnya upacara kenduri yang dilakukan selama beberapa hari ; sangat menyita waktu dan tenaga, serta biaya. Bagi orang yang tidak mampu sekalipun kadangkala memaksakan diri untuk melakukan upacara kenduri bahkan dengan meminjam sana-sini bahkan dengan menjual harta yang ada. Setelah acara itu selesai, selain hartanya sudah habis juga harus menanggung beban hutang. Padahal biaya dan harta tersebut dapat digunakan sebagai modal usaha dan biaya hidup keluarga yang ditinggalkan.

Pelaksanaan upacara yang menghabiskan waktu berhari-hari juga sangat merugikan, yang mestinya dapat melakukan sesuatu kegiatan atau pekerjaan yang lebih bermanfaat. Oleh karena itu, upacara yang menghabiskan biaya dan waktu secara berlebihan sudah perlu dipikirkan, apalagi pada zaman yang sangat menghargai waktu tentu sangat sia-sia menghabiskan waktu pada kegiatan yang tidak begitu esensial. Begitu juga halnya dengan nilai hidup bersih, dapat kita perhatikan bahwa makanan yang diolah di tempat upacara kematian itu masih kurang memperhatikan segi kebersihan dan kesehatan.
Prosesi acara yang dianggap skral tersebut sebenarnya dapat direfungsi dan interpretasi dengan tidak merubah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Bali. Di Bali, sesuatu yang dianggap sakral dapat dipropan dan disemipropankan untuk dikonsumsikan sebagai hiburan kepada masyarakat umum.

Penutup
Upacara adalah tata nilai yang diyakini, namun nilai-nilai itu tidak berarti bersifat tetap, tetapi dinamis. Nilai-nilai upacara dapat dikembangkan dan ditafsirkan sesuai dengan realitas yang dihadapi. Upacara yang merupakan bagian dari tata cara kehidupan sosial yang merujuk pada realitas sosial masa lalu. Tentu gambaran dan penafsiran yang dilakukan saat itu belum tentu dapat diterapkan lagi untuk kondisi sosial saat ini yang berbeda dan jauh lebih kompleks karena perkembangan masyarakat. Proses reinterpretasi adalah sebuah keharusan tanpa harus meninggalkan nilai-nilai fundamental. tetapi dinamis dan dapat diinterpretasi terus-menerus tanpa kehilangan maknanya yang konstan. Tanpa reinterpretasi, upacara akan menempati posisi yang sama dan selalu terlibat ketegangan dengan perkembangan zaman.
Setiap fenomena sosial dan individual dapat dilacak akar permasalahannya, memang patut dipertanyakan kembali posisi dan fungsi upacara dalam kehidupan masyarakat. Apabila agama telah menjadi standard dan sumber pandangan hidup pemeluknya, tetapi mengapa fenomena sosial dan individual yang dijumpai banyak yang tidak mencerminkan nilai-nilai agama karena belum tentu juga bahwa fenomena sosial dan individual tersebut merupakan pencerminan religius masyarakat.

Arus perubahan tetap berjalan, upacara tradisional hanya menjadi tempat pelarian yang perkembangannya kemudian memposisikan diri berhadapan dengan perkembangan kebudayaan. Kondisi seperti itu tidak mungkin terus dibiarkan berlangsung karena akan mengakibatkan kerugian kemanusiaan dalam kehidupan beragama dan berbudaya. Tanpa adanya perubahan upacara akan mengasingkan manusia dan ditinggalkan manusia dari kenyataan hidup yang semakin kompleks.

Penulis:
Sudirman, S.S. adalah Tenaga Teknis (peneliti) pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Download File Asli:

http://www.pintoaceh.com/hb/hb43/dirman_hb43_upmatee.rar

Tidak ada komentar: