19 Desember 2007

Nanggroe Aceh Darussalam [NAD]: Ie Beuna Di Aceh

Nanggroe Aceh Darussalam [NAD]: Ie Beuna Di Aceh

09 Desember 2007

Makna Kenduri Maulid dalam Konteks Masyarakat Aceh Masa Kini

Oleh: Dra. Sri Waryanti

Pendahuluan
Setiap bulan Rabiul Awal tiba sebagian kaum muslim di Indonesia, bahkan di dunia, mulai tampak sibuk. Pada bulan inilah kaum muslim memperingati dan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setiap daerah merayakannya dengan cara berbeda-beda menurut kebiasaan yang mereka laksanakan. Misalnya di Banten, banyak orang melakukan ziarah ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran. Sebagian diantaranya berendam di kolam masjid untuk mendapatkan berkah. Ada juga di antara mereka yang sengaja mengambil air untuk dibawa pulang sebagai obat.

Sementara itu di Cirebon, banyak orang Islam berdatangan ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sanga, di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya, di Kraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat , yakni upacara memandikan pusaka-pusaka Kraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut karena dipercaya membawa keberuntungan.

Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surabaya perayaan Maulid dikenal dengan istilah Sekaten. Istilah ini berasal dari kata Shahadatain, yaitu pengakuan tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah. Kemeriahan serupa juga dapat dilihat di setiap negeri muslim sekarang ini, seperti di Mesir, Syria, Lebanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Sudan, Yaman, Iran, Malaysia, dan banyak negeri Islam lainnya. Di kebanyakan negara Islam, hari itu merupakan hari libur nasional.

Di tanah air, dalam rangka perayaan hari Maulid, baik yang akbar maupun yang biasa-biasa saja, ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, yaitu pembacaan karya tulis Kitab al-Barzanji. Barzanji adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad SAW mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi Rasul. Karya ini juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad SAW serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Dalam catatan sejarah, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW.

Peringatan Maulid kemudian menjadi sebuah upacara yang kerap dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak mempopulerkannya pada masa pemerintahan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). Waktu itu tujuannya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara yang tengah bersiap menghadapi serangan tentara Nasrani dari Eropa pada episode Perang Salib yang terkenal itu.

Tulisan ini membahas tentang relevansi kenduri Maulid pada masyarakat Aceh dikaitkan dengan kondisi kekinian di Nanggroe Aceh Darussalam.

Kenduri Maulid Pada Masyarakat Aceh
Pelaksanaan kanduri Maulod (kenduri Maulid) pada masyarakat Aceh terkait erat dengan peringatan hari kelahiran Pang Ulee (penghulu alam) Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT yang terakhir pembawa dan penyebar ajaran agama Islam. Kenduri ini sering pula disebut kanduri Pang Ulee.

Masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam melaksanakan kenduri maulid setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal disebut maulod awai (maulid awal) dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal sampai berakhir bulan Rabiul Awal. Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah) dimulai dari tanggal 1 bulan Rabiul Akhir sampai berakhirnya bulan. Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan Jumadil Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang bulan Jumadil Akhir.

Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan rentang tiga bulan di atas, mempunyai tujuan supaya warga masyarakat dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Maksudnya apabila pada bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiul Akhir belum juga mampu, maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadil awal. Umumnya seluruh masyarakat mengadakan kenduri Maulid hanya waktu pelaksanaannya yang berbeda-beda, tergantung pada kemampuan menyelenggarakan dari masyarakat.

Kenduri Maulid oleh masyarakat Aceh dianggap sebagai suatu tradisi. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam berilmu pengetahuan.

Penyelenggaraan kenduri maulid dapat dilangsung-kan kapan saja asal tidak melewati batas bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal, tepatnya mulai tanggal 12 Rabiul Awal sampai tanggal 30 Jumadil Awal. Selain itu waktu kenduri maulid ada yang menyelenggarakan pada siang hari dan ada pula yang menyelenggarakannya pada malam hari.

Bagi desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada siang hari mulai jam 12 siang hidangan telah siap untuk diantar ke meunasah atau mesjid. Demikian pula bagi yang menyelenggarakan kenduri di rumah, hidangan telah ditata rapi untuk para tamu. Pertandingan meudikee maulod (zikir marhaban atau zikir maulid) dimulai sejak pukul 9 pagi dan berhenti ketika Sembahyang dhuhur untuk kemudian dilanjutkan kembali.

Selanjutnya desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada malam hari hidangan dibawa ke meunasah atau mesjid setelah sembahyang Ashar atau menjelang maghrib, sedangkan lomba meudikee maulod dilangsungkan setelah sembahyang Isya.

Penyelenggaraan kenduri maulid umumnya dilangsungkan di meunasah atau mesjid. Panitia pelaksana kenduri mengundang penduduk dari desa-desa lain yang berdekatan atau desa tetangga dan ada juga yang mengundang semua desa dalam kemukimannya . Kondisi ini diperngaruhi oleh jumlah hidangan yang disediakan oleh warga desa.

Di samping itu ada juga yang melaksanakan kenduri di rumah saja atau secara pribadi disebut maulod kaoy (maulid nazar). Maulid ini diselenggarakan untuk melepas nazar yang menyangkut kehidupan pribadi atau keluarga disebabkan permohonan mereka kepada Allah SWT telah dikabulkan. Penyelenggaraan kenduri maulid ini sesuai dengan nazar yang dicetuskan sebelumnya. Apabila nazarnya ingin menyembelih seekor kerbau, maka pada saat kenduri akan disembelih hewan tersebut, demikian pula jika nazar ingin menyembelih seekor kambing.

Daging hewan yang dinazarkan setelah dimasak dan ditambah lauk-pauk lainnya akan dihidangkan kepada undangan. Besar atau kecilnya kenduri tergantung kepada kemampuan orang yang melaksanakan.

Pihak yang mengadakan kenduri, sebelumnya telah memberitahu kepada keuchik (kepala desa) dan teungku meunasah (imam desa). Apabila kendurinya besar akan dibentuk panitia yang berasal dari penduduk desa setempat. Penduduk dari luar desa tidak diundang, kecuali sanak saudara atau ahli famili pihak yang mengadakan kenduri serta
anak yatim yang berada di sekitarnya.

Hidangan yang menjadi tradisi keharusan dalam kenduri Maulid di meunasah dan di rumah berupa beuleukat kuah tuhee (nasi ketan dengan kuah), sebagai hidangan siang hari selain nasi dan lauk pauk. kuah tuhee lalu dimakan bersama ketan. Pada malam hari hidangan yang harus disediakan berupa beuleukat kuah peungat. Kuah peungat adalah santan dicampur dengan pisang raja dan nangka serta diberi gula secukupnya.

Seperti telah disebutkan di atas Kenduri maulid dapat dilaksanakan dalam 3 bulan dimulai dari bulan Rabiul awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal. Apabila kenduri telah dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal berarti pelaksanaan kenduri pada tahun bersangkutan telah dilaksanakan, tidak perlu diadakan lagi pada pada bulan Rabiul Akhir dan bulan Jumadil Awal.

Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal mempunyai nilai yang sama tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, hanya tergantung kepada kemampuan dan kesempatan warga desa.

Kenduri Maulid Pada Masyarakat Aceh Masa KiniDi zaman yang semakin maju ini perubahan berlangsung sangat cepat. Masyarakat tidak hanya menerima informasi dari kalangan internal di masyarakatnya, tetapi mereka juga menerima berbagai macam informasi dari masyarakat yang berasal dari luar lingkungan tempat tinggal mereka. Informasi tersebut dapat berupa informasi yang positif, tetapi juga informasi yang bersifat negatif.

Informasi yang bersifat positif tentunya tidak akan menimbulkan masalah bagi masyarakat. Bahkan informasi tersebut sangat menguntungkan bagi kemajuan sebuah masyarakat. Masalah akan timbul apabila informasi yang masuk ke dalam masyarakat adalah infornasi yang negatif. Tidak hanya pertentangan antar masyarakat akan timbul sebagai dampak masuknya informasi yang negatif, tetapi juga pudarnya beberapa nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat tersebut.

Masyarakat Aceh pun tidak terlepas dari masuknya berbagai informasi. Apabila tidak dapat tersaring informasi yang negatif, maka dikhawatirkan akan merusak sendi-sendi nilai-nilai moral yang ada dan tertanam di dalam sanubari ureung (orang) Aceh, khususnya di kalangan generasi muda.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membentengi diri dengan nilai-nilai keagamaan yang kuat. Di antara upaya tersebut adalah dengan cara memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya. Selain sebagai upaya mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, ritual mouled bagi ureung (orang) gampong dapat menjadi sarana silaturahmi dan hiburan. Dalam kenyataannya, dalam setiap maulid ada yang menyertakannya dengan dikee mouled, yaitu membaca syair secara berirama. Isi dikee mouled terutama tentang peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dan luapan gembira masyarakat Madinah yang menyambut kedatangan nabi. Isi lainnya tentang status Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa rakhmat dan penyelamat kemanusiaan. Sekarang baik di gampong-gampong maupun di kota lazim pula diramaikan dengan ceramah atau pidato keagamaan (dakwah Islam).

Kenduri Maulid memang khas sebagai adat dan budaya Aceh. Tentunya, ia sangat relevan dengan kehidupan masyarakat di daerah ini, yang telah pula memproklamirkan diri sebagai daerah dengan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sebuah daerah yang bersyariat Islam, maka semua aspek kehidupan diarahkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sikap, perilaku, tatakrama didasarkan kepada syariat Islam.

Gempuran nilai-nilai luar yang tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat akan terus mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Kehidupan Nabi Muhammad SAW, sifat-sifat dan keteladanan disertai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist merupakan senjata yang ampuh untuk menangkal semua pengaruh yang bersifat negatif dari dunia luar masyarakat Aceh.

Peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang disimbolkan dalam bentuk kenduri Maulid telah mentradisi dilaksanakan setiap tahun. Seperti orang memperingati hari ulang tahun setiap tahun atau merayakan “tahun baru” untuk memperingati pergantian tahun Masehi pada tanggal 1 Januari. Peringatan Maulid yang dilaksanakan setiap tahun dikandung maksud sebagai sebuah upaya yang terus-menerus untuk mengingatkan kepada seluruh anggota masyarakat akan jati diri mereka sebagai umat Islam dan ureung (orang) Aceh.

Pada masa yang akan datang tantangan pergeseran nilai-nilai budaya sangatlah berat. Kehidupan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Aceh makin meluas ke berbagai belahan wilayah di Aceh. Dunia telah menjadi gampong yang besar. Batas-batas antar gampong ini tidak tampak secara nyata. Peristiwa atau aktivitas dari dunia lain dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat lain.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas tampak begitu penting dan relevannya tradisi bermaulid dalam masyarakat, maka tradisi itu perlu dilestarikan dengan memperingatinya setiap tahun berkesinambungan. Maulid mempunyai makna yang dalam, baik secara spritual maupun sosial bagi kehidupan bersama. Pemerintah, baik di tingkat provinsi sampai dengan pemerintah gampong hendaknya memelihara khasanah kekayaan budaya ini. Tidak hanya sebagai salah satu cara mensyiarkan ajaran agama Islam, tetapi juga sebagai wadah pelaksanaan keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, pendidikan, adat-istiadat, dan peran ulama dalam kebijakan pemerintahan. Hindarilah sikap merugikan di masa yang akan datang. Jangan sampai generasi muda di masa yang akan datang lupa akan jati dirinya sebagai ureung Aceh. Sebuah hadih maja Aceh selalu memperingatkan kepada kita untuk tetap memelihara adat istiadat dan budaya Aceh seperti di bawah ini,
Matee Aneuk Meupat Jeurat
Gadoh Adat pat Tamita
Artinya:
Anak mati tahu kuburannya
Hilang adat dimana harus dicari.

Penulis:
Dra.Sri Waryanti adalah Tenaga Teknis (peneliti) pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Download File Asli:

http://www.pintoaceh.com/hb/hb43/yanti_hb43_maulod.rar

Memaknai Upacara Turun ke Sawah Pada Masyarakat Aceh

Oleh: Essi Hermaliza

Pendahuluan
Mata pencaharian utama mayoritas penduduk Aceh adalah di sektor pertanian. Pada akhir Pelita keempat, penduduk Aceh yang bekerja di sektor pertanian yang meliputi pertanian tanaman, perikanan, perkebunan, peternakan dan kehutanan tercatat telah mencapai 993.318 orang atau 71,68 prosen dari jumlah angkatan kerja sebanyak 1.385.668 orang. Tingginya prosentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian menunjukkan bahwa peluang kerja di sektor lain belum cukup berkembang.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki lahan sawah seluas 258.266 hektar dan lahan kering yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian 386.742 hektar. Lahan tersebut tersebar di semua Daerah Tingkat II (Dati II). Sementara yang berusaha di perkebunan, ada pada perkebunan besar dan perkebunan rakyat.

Sebagian besar areal perkebunan yang ada merupakan perkebunan rakyat yang mencapai 72 persen (akhir Pelita keempat). Usaha perkebunan rakyat yang dikelola oleh petani perorangan dan badan hukum atas tanah yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU). Dari seluruh areal perkebunan besar, sekitar 77,2 persen diusahakan oleh swasta.

Mengingat begitu banyak harapan yang bertumpu pada sektor pertanian maka besar pula apresiasi masyarakat terhadap keberadaannya. Pertanian bukan jenis mata pencaharian baru, sektor ini telah digeluti sejak zaman nenek moyang di seluruh belahan bumi. Karena bidang ini berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup manusia. Sehingga sebagai wujud penghargaan, penghormatan akan alam yang menjadi media serta pengharapan, maka dalam pelaksanaannya manusia membudayakan serangkaian upacara yang telah menjadi tradisi di suatu daerah dan dilaksanakan secara turun-temurun.

Salah satu apresiasi masyarakat ini diwujudkan dalam berbagai upacara tradisional berupa ritual adat yang berbeda caranya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Upacara tersebut ada yang berkaitan dengan kepercayaan, agama, daur hidup dan ada pula yang berkaitan dengan sosial masyarakat.

Dilihat dari etimologi, upacara itu sendiri merupakan perayaan atau kegiatan selebrasi karena alasan-alasan tertentu. Kemudian upacara tersebut dilaksanakan dalam lingkup adat istiadat secara berkelanjutan dan sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku.

Yang dimaksud adat istiadat adalah aturan tentang beberapa segi aturan tentang beberapa aspek kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya.

Salah satu upacara adat yang masih dilaksanakan dan terus dilestarikan khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam adalah Upacara Turun ke Sawah atau dalam bahasa Aceh sering disebut Adat Tron U Blang.

Upacara ini merupakan suatu tradisi adat tahunan dalam pengerjaan sawah yang dilaksanakan di areal persawahan oleh kaum petani, perangkat adat dan masyarakat terutama petani yang mempunyai lahan persawahan untuk memberkati sawahnya.

Khanduri Tron U Blang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu menjelang turun ke sawah, ketika padi berbuah dan sesudah masa menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan maksud dan tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kekiniannya.

Menjelang Turun ke Sawah
Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebut Khanduri ulee Lhueng atau Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan dipimpin oleh seorang Kuejren Blang dengan melibatkan para petani yang memiliki areal persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal.

Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing pada babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi.

Menurut para petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya akan tumbuh subur akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada.

Seperti yang kita temui saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian pada umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya, semuanya diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-masing.

Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk pengolahan media tanah. Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di dalam tanah.
Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga memiliki fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan sawah. Dapat diperhatikan, saat ini kaum ibu yag suka menanam bunga di halaman rumah sering menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga.

Demikian pula dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan ditanami padi.
Para petani sering dikarakteristikkan sebagai masyarakat gotong royong. Mereka bergotong royong sejak sebelum padi ditanam. Sebagaimana tergambar dalam Upacara Tron U Blang ini, mereka bekerja bersama-sama menyelenggarakan upacara untuk sawah mereka.

Bersama-sama menyediakan hewan penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk pauk lainnya untuk melengkapi Khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih luas seperti lapangan di dekat areal persawahan atau lahan persawahan itu sendiri yang berada di tengah sebelum penanaman.

Biasanya di daerah-daerah tertentu memang ada satu lahan yang dibiarkan untuk tempat penyelenggaraan Khanduri setiap tahunnya. Di lahan itu di tanam pepohonan yang rindang yang kemudian dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi petani.

Tidak itu saja, lahan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan padi yang telah dipanen (Phui Pade) sebelum digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat membantu mengangin-anginkan, membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa pulang.

Selesainya upacara Tron U Blang tersebut merupakan pertanda bahwa lahan atau tanah telah siap menerima benih baru, masa tanam dapat segera dilaksanakan. Makna lebih dalam dari hal ini adalah agar para petani dapat dengan serentak menggarap lahan persawahannya, sehingga nanti dapat pula saling menjaga dan mengawasi padinya bersama-sama atau paling tidak setiap proses, mulai masa tanam hingga masa panen dapat terus dilaksanakan bersama-sama, mengeluarkan zakat bahkan hingga menikmati hasilnya. Nilai kekeluargaan yang tumbuh menjadi begitu kental terasa di sawah dan terbawa pula sampai ke lingkungan rumah dan sosial masyarakat.

Masa Padi Berbuah
Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika batang padi membulat, biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi ritual yang harus dijalankan.

Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama. Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki kemudahan / rezeki untuk melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi mereka yang ekonominya lemah dapat melaksanakannya dengan memberi makan seorang yatim untuk sekali waktu.

Upacara tahap kedua ini dikenal dengan istilah Geuba Geuco dimana dalam ritual pelaksanaan upacaranya dilaksanakan di kuburan yang dianggap keuramat. Hal itu dimaksudkan agar padi terhindar dari hama dan penyakit sehingga dapat panen dengan hasil yang baik.

Namun ritual yang satu ini juga telah mengalami pergeseran. Kepercayaan dinamisme seperti yang dilakukan dalam upacara Geuba Geuco ini sudah sangat jarang ditemui. Sekarang para petani cenderung melakukan hajatan atau syukuran atas kesuburan padi.
Upacara dapat dilakukan dirumah, tetapi ritual itu sendiri tetap dilakukan di sawah, pada beberapa petak saja yang dipeusijuek secara simbolik. Sementara doa disampaikan untuk seluruh lahan si empunya hajatan.

Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai memberatkan si petani. Karena yang terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat para ulama, bahwa Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan bermanfaat.

Bila dianalisa lebih dalam Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan rezeki yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandakan keikhlasannya dan bisa saja imabalan itu diberikan melalui padi yang ditanamnya.

Sesudah Masa Menuai
Tahap kedua usai maka tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Pade Baro. Upacara ini dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para petani telah sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai.

Upacara tersebut dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk memperoleh berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dpat dalm masa panen kali ini diberkati oleh Allah SWT, bila hasilnya dijual dan diuangkan maka dapat pula digunakan dengan benar an membawa kebaikan lagi bagi si petani dan keluarganya.

Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak yatim dan orang yang kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru dipanen itu sebagai suatu wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini.

Berbagi, kata ini mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat dicicipi. Peluhnya seakan terbayar dengan ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka kata Alhamdulillah mewakili doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir pula harapan semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi.

Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak mengadakan Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu, petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan Keuchik untuk menentukan waktunya.

Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Baiknya, dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang datang tidak bingung kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu makan di satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap ketiga ini adalah menuanaikan zakat. Bagi hasil panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang bertugas menerima zakat.
Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk satu kali masa panen. Dan rentetan upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani menggarap sawahnya mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterunsnya.

Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang tidak benar? Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan kenyataannya, sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan persawahannya.

Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat hanya melalui ritual tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawah-sawhnya dengan cara-cara yang logis, sementara upacara hanya media yang membantu mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu memperoleh hasil panen yang melimpah.

Penutup
Masing-masing upacara tradisional yang termasuk Khanduri Blang sebagaimana telah dijelaskan diatas, diselenggarakan sekali saja dalam setahun. Karena tradisi dibuat berdasarkan budaya lama. Dengan kondisi lahan yang berupa sawah tadah hujan tanpa irigasi teknis yang memadai, petani hanya dapat bertanam sekali dalam setahun yaitu di musim penghujan. Namun tak tertutup kemungkinan bagi mereka yang kini telah memanfaatkan irigasi sebagai sumber pengairan untuk lahannya, tidak dilarang bila ingin menyelenggarakan upacara Tron U Blang dan dua upacara lainnya itu dua kali dalam setahun.

Upacara ini dapat melatih masyarakat untuk selalu hidup bergotong royong. Lebih jauh lagi pelaksanaannya mengajarkan betapa pentingnya menghargai alam terlebih yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia.

Selain itu, ritual demi ritualnya kita diingatkan bahwa dalam hidup manusia tidak dapat hidup sendiri namun senantiasa membutuhkan orang lain sehingga dapat dengan ikhlas saling membantu, menghargai dan berbagi dalam kebaikan.

Rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan dalam berusaha dalam mencapai kemapaman hidup memberi peluang besar kepada petani melangkah dalam konteks hablumminallah, hablumminnas.

Penulis:
Essi Hermaliza, Spd, I. adalah Tenaga Teknis pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Download File Asli:
http://www.pintoaceh.com/hb/hb43/essi_hb43_sawah.rar

Ritual Masyarakat Aceh Dalam Menyambut Kelahiran Anak (suatu tinjauan kekinian)

Oleh: Cut Zahrina, S.Ag.

Pendahuluan
Penting untuk kita ingat dan kita catat bahwa strukturalisme adalah suatu paradigma dalam antropologi seperti yang telah dikemukakan oleh Levi-Strauss. Ada beberapa pemikiran teori yang juga dapat membangun pemahaman struktural menurut fokus perhatian dan arah yang berbeda. Tentu dalam hal ini kita harus kembali menyinggung konstribusi besar dari Emile Durkheim, Marcell Mauss, Ferdinand de Saussure dan ahli linguistik Swiss yang mengembangkan pendekatan struktural dalam bahasa.

Pusat perhatian lain yang penting dalam strukturalisme adalah ritual. Fungsionalis seperti Malinowski dan Radcliffe-Brown mengadopsi pernyataan Durkheim bahwa agama merefleksikan struktur dari sistem sosialnya dan fungsi untuk memelihara sistem tersebut dari masa ke masa.

Variasi mite-mite sebagaimana yang dituturkan oleh orang-orang di sekitar dipandang dapat mencerminkan perbedaan-perbedaan sistem-sistem sosial mereka. Sistem politik yang terpusat diasosiasikan dengan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Tinggi, yang kurang memiliki makhluk-mahkluk yang lebih rendah sebagai perantara dirinya dengan manusia biasa. Sistem tersebut tidak tersentralisasi namun akan diasosiasikan dengan agama-agama di mana terdapat sejumlah dewa dengan status yang setara. Secara khusus, masyarakat yang berasaskan garis keturunan (lineage-based) seperti masyarakat Nuer dan Tallensi dapat dikaitkan dengan pemujaan nenek moyang.

Di Eropa, para antropolog yang lebih dekat hubungannya dengan Durkheim mengikuti proposisi bahwa suatu sistem kepercayaan dalam kebudayaan memiliki logika internal yang memberikan makna bagi tindakan ritual. Seperti halnya aliran Inggris, mereka bereaksi terhadap penulis-penulis sebelumnya yang menafsirkan adat sebagai survival dari yang dianggap tahap-tahap sebelumnya dalam evolusi sosial manusia.

Antropolog Inggris berpendapat bahwa kehadiran setiap adat seharusnya dijelaskan dalam konteks efek kontemporernya terhadap sistem sosial. Para penulis seperti Hertz (1960 dan van Gennep 1960 berpendapat bahwa makna setiap adat harus diangkat dideduksi dari tempatnya dalam struktur kognitif. Dalam tulisannya, The Preeminence of the right hand. Hertz, mendokumentasikan suatu kecenderungan umum di antara banyak kebudayaan untuk mengasosiasikan tangan kanan dengan kekuatan dan keteraturan, sementara tangan kiri dengan kekacauan dan kelemahan. Ia menyimpulkan bahwa oposisi struktural antara kanan dan kiri bermakna bagi oposisi yang lebih umum antara benar dan salah. Ia menganggap hal ini sebagai satu kasus kecenderungan umum bagi kebudayaan primitif untuk berpikir dalam oposisi dualistik. Dalam konteks biologi suatu kecenderungan statistik bagi banyak orang yang menggunakan tangan kanan dominan akan lebih benar daripada yang menggunakan tangan kiri ditransformasikan oleh kebudayaan ke dalam oposisi mutlak yang terisi oleh makna dalam suatu upacara. Upacara yang berkembang dalam masyarakat telah menjadi kebutuhan dan dijadikan sebagai kegiatan ritual dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam wacana ini penulis ingin mengemukakan upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Aceh dalam menyambut kelahiran anak pertama. Kelahiran manusia dapat dijelaskan dengan pengertian akan kelahiran subtansi-subtansi infrahuman yang dianggap materil bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat.

Perspektif Antropologi Terhadap Upacara
Upacara merupakan rangkaian kegiatan ritual masyarakat, dalam buku the Rites of Passage (van Gennep) berpendapat bahwa kejadian dalam kehidupan manusia terbagi atas tiga bagian. Ia yakin terdapatnya kecenderungan pada manusia untuk mengonsepsikan perubahan status sebagai suatu model perjalanan dari satu kota atau negeri kekota atau kenegeri yang lain, sebagaimana dikatakannya suatu teritorial passage.

Perjalanan teritorial meliputi tiga aspek yaitu pemisahan dari tempat asal, peralihan dan penggabungan ke dalam tujuan. Seperti halnya oposisi antara tangan kanan dan tangan kiri bisa berlaku lebih umum, oposisi moral. Dengan demikian perjalanan teritorial dapat berlaku bagi setiap perubahan status dalam masyarakat. Ritual kelahiran, memasuki masa dewasa, kematian, semuanya memiliki struktur yang sama. Sebagaimana ditekankan van Gennep ia ingin mengangkat ekstraksi berbagai ritus dari seperangkat upacara seremoni dan menanggapi ritus-ritus tersebut terisolasi dan mengangkatnya dari konteks yang memberi makna kepadanya dan menunjukkan posisinya dalam keseluruhan dinamika.

Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap upacara identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah acara seremonialnya atau dinamakan dengan kanduri. Sekarang ini upacara yang tetap berlangsung dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah : upacara turun ke sawah, upacara tolak bala,
upacara perkawinan, upacara kehamilan anak pertama, upacara kematian dan lain-lain.

Upacara-upacara tersebut masih dipertahankan karena dibutuhkan oleh masyarakat, untuk memenuhi tuntutan adat. Menurut masyarakat Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi, selain itu kita harus mematuhinya juga. Seperti pepatah Aceh menyebutkan bahwa : Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita.

Pepatah ini mengibaratkan bahwa adat dengan anak itu diposisi yang sama-sama penting, apabila anak yang meninggal itu masih ada bekasnya yaitu kuburan sedangkan apabila adat yang hilang kita tidak tahu ke mana mesti kita mencarinya. Ungkapan tersebut juga merupakan wujud kesadaran masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat, yang telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Begitulah makna adat yang dipahami oleh masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai sekarang ini, apabila pada satu moment kita tidak menjalankan adat atau berupa upacara yang telah ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya merasa sangat terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Salah satu contoh adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran bayi, banyak sekali rangkaian upacara-upacara adat yang akan dilaksanakan. Semua itu erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh dan juga tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah yang dianjurkan dalam ajaran Islam.

Adat Aceh Apabila Istri Dalam Keadaan Hamil
Seorang isteri pada saat hamil anak pertama, maka sudah menjadi adat bagi mertua atau maktuan dari pihak suami mempersiapkan untuk membawa atau mengantarkan nasi hamil kepada menantunya. Acara bawa nasi ini disebut ba bu atau mee bu.

Upacara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sang cucu yang dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud upacara yang sesuai dengan kemampuan maktuan. Nasi yang diantar biasanya dibungkus dengan daun pisang muda berbentuk pyramid, ada juga sebahagian masyarakat mempergunakan daun pisang tua. Terlebih dahulu daun tersebut dilayur pada api yang merata ke semua penjuru daun, karena kalau apinya tidak merata maka daun tidak kena layur semuanya.

Sehingga ada mitos dalam masyarakat Aceh kelak apabila anak telah lahir maka akan terdapat tompel pada bahagian badannya. Di samping nasi juga terdapat lauk pauk daging dan buah-buahan sebagai kawan nasi. Barang-barang ini dimasukkan ke dalam idang atau kateng (wadah). Idang ini diantar kepada pihak menantu perempuan oleh pihak kawom atau kerabat dan jiran (orang yang berdekatan tempat tinggal).
Upacara ba bu atau Meunieum berlangsung dua kali. Ba bu pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan. Ada juga di kalangan masyarakat acara ba bu hanya dilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung kepada kemampuan bagi yang melaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil saja dan adapula yang mengantar sampai lima atau enam idang besar. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan makan yang istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan bermanfaat.

Dalam ilmu kesehatanpun memang dianjurkan untuk kebutuhan gizi cabang bayi yang dikandungnya, namun apabila itu tidak dituruti maka berakibat buruk pada anak yang dikandungnya kalau istilah bahasa Aceh roe ie babah (ngences). Masyarakat Aceh upacara bawa nasi suatu kewajiban adat yang harus dilakukan, sampai saat sekarang masih berlangsung dalam masyarakat. Lain halnya pada Masyarakat suku Aneuk Jamee Kabupaten Aceh Selatan terdapat adat bi bu bidan (memberi nasi untuk ibu bidan) maksudnya seorang anak yang baru kawin dan hamilnya sudah 6 bulan sampai 7 bulan maka untuk anak tersebut sudah dicarikan ibu bidan untuk membantu proses kelahirannya. Pada upacara kenduri dimaksud kebiasaan masyarakat, ibu bidan akan dijemput oleh utusan keluarga ke rumah bidan lalu dibawa kerumah yang melakukan hajatan. Acara serah terima, melewati beberapa persyaratan antara lain :

1. Pihak keluarga yang melakukan hajatan mendatangi ibu bidan dengan membawa tempat sirih (bate ranub) sebagai penghormatan kepada ibu bidan dan sebagai tanda meulakee (permohonan).
2. Setelah ibu bidan hadir di rumah hajatan, maka keluarga yang melakukan permohonan tersebut dengan acara adat menyerahkan anaknya yang hamil tersebut agar diterima oleh bidan sebagai pasiennya.
3. Sebagai ikatan bagi bidan pihak keluarga menyerahkan seperangkap makanan yang sudah dimasak, untuk dibawa pulang ke rumah bidan, lengkap dengan lauk pauknya sesuai dengan kemampuan keluarga yang melakukan hajatan disertai juga dengan menyerahkan selembar kain dan uang sekedarnya.

Acara puncak bi bu bidan adalah kenduri dengan didahului pembacaan tahlil dan doa, acara tersebut biasanya dilakukan pada jam makan siang dan ada juga pada malam hari setelah shalat Isya. Setelah upacara selesai maka ibu bidan diantar kembali ke rumahnya, mulai saat itu anaknya yang hamil telah menjadi tanggungjawabnya ibu bidan.

Pada saat bayi telah lahir disambut dengan azan bagi anak laki-laki dan qamat bagi anak perempuan. Teman bayi yang disebut adoi (ari-ari) dimasukkan ke dalam sebuah periuk yang bersih dengan disertai aneka bunga dan harum-haruman untuk ditanam di sekitar rumah baik di halaman, di samping maupun di belakang. Selama satu minggu tempat yang ditanam ari-ari tersebut dibuat api unggun, hal ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti : Adanya orang ilmu hitam yang memanfaatkan benda tersebut, tangisan bayi diwaktu malam dan dari serangan binatang pemangsa seperti anjing. Pada hari ke tujuh setelah bayi lahir, diadakan upacara cukuran rambut dan peucicap, kadang-kadang bersamaan dengan pemberian nama. Acara peucicap dilakukan dengan mengoles manisan pada bibir bayi disertai dengan ucapan :
” Bismillahirahmanirrahim, manislah lidahmu, panjanglah umurmu, mudah rezekimu, taat dan beriman serta terpandang dalam kawom”.

Pada saat inilah bayi telah diperkenalkan bermacam rasa di antaranya asam, manis, asin. Ini merupakan latihan bagi bayi untuk mengenal rasa, bisa dia bedakan antara satu rasa dengan rasa yang lainnya. Sebelumnya, bayi hanya mengenal ASI eklusif yang dia dapatkan dari ibunya.

Pada zaman dahulu upacara turun tanah dilakukan setelah bayi berumur satu sampai dua tahun, bagi kelahiran anak yang pertama upacaranya lebih besar. Namun untuk saat sekarang ini masyarakat tidak mengikutinya lagi, apalagi bagi ibu-ibu yang beraktifitas di luar rumah seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dan karyawati di instansi tertentu. Ke luar rumah sampai satu tahun dan dua tahun itu dianggap tidak efisien dan tidak praktis lagi. Bagi ibu-ibu pada zaman dahulu, selama jangka waktu satu atau dua tahun tersebut mereka menyediakan persiapan-persiapan kebutuhan upacara.

Pada saat upacara tersebut, bayi digendong oleh seorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang mengendong tersebut memakai pakaian yang bagus maka sewaktu bayi diturunkan dari rumah, bayi dipayungi dengan sehelai kain yang dipegang pada setiap sudut kain oleh empat orang. Di atas kain tersebut dibelah kelapa, dengan makksud agar bayi tidak takut mendengar bunyi petir. Belahan kelapa dilempar kepada sanak famili dan wali karongnya. Salah seorang keluarga bergegas-gegas menyapu tanah dan yang lainnya menampi beras, ini dilakukan apabila bayinya perempuan. Namun apabila bayinya laki-laki, maka yang harus dikerjakan adalah mencangkul tanah, mencincang batang pisang atau tebu, memotong rumput, naik atas pohon seperti : pinang, kelapa, mangga, dll. Pekerjaan ini dimaksudkan agar anak perempuan menjadi rajin dan bagi laki-laki menjadi ksatria. Setelah semua selesai, selanjutnya bayi ditaktehkan (diajak berjalan) di atas tanah dan akhirnya dibawa keliling rumah sampai bayi dibawa pulang kembali dengan mengucapkan assalamualaikum waktu masuk ke dalam rumah.

Analisis Perubahan dan Pergeseran dalam konteks Kekinian
Untuk saat sekarang ini upacara menyambut kelahiran anak pertama, telah terjadi perubahan. Perubahan adat yang terjadi hanya sedikit saja namun tidak pernah bergeser dari makna yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh. Di sini penulis dapat mengutarakan bahwa inti rangkaian upacara ini adalah symbol dari suka cita. Ini dilatarbelakangi oleh rasa bahagia yang ada pada pasangan suami isteri yang baru berumah tangga, begitu juga bagi kedua orang tua mereka yang sudah menanti-nanti kehadiran cucunya. Salah satu pergeseran budaya dari upacara ini, misalnya sekarang ini bawa nasi ada sebahagian masyarakat mengantikan dengan bawaan mentah yaitu uang.

Hal yang demikian sudah sering kita dengar dari masyarakat Aceh, ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya karena mertuanya jauh, tidak ada yang masak. Ini mereka anggap menyulitkan dan juga merepotkan., jadi mereka mengambil jalan yang praktisnya yaitu mengasihkan uang senilai hantaran nasi yang mau dibawa. Terlebih dahulu ini telah menjadi kesepakatan antara orang tua kedua belah pihak, baik pihak isteri maupun suami, sehingga tidak menimbulkan permasalahan. Namun peraturan ini tidak berlaku bagi sama-sama besan yang berdekatan, bagi mereka diharuskan untuk menjalankan adat tersebut. Waktu pelaksanaan bawa nasipun, sekarang telah banyak berubah, masyarakat Aceh zaman dahulu melakukan sampai dua kali, namun sekarang ini telah dipraktiskan dengan sekali hantaran saja. Perubahan ini, masyarakat menganggap biasa dan lebih praktis baik dari segi waktu dan kerja.

Namun diharapkan upacara ini janganlah sampai hilang, karena upacara ini telah menjadi bahagian dari adat Aceh yang harus kita lestarikan. Dari upacara ini terwakili beberapa nilai ketauladanan, di antaranya nilai penghormatan dan nilai kebersamaan dalam menyambut kebahagian. Kebahagian yang ada tidak hanya dinikmati terbatas pada keluarga itu saja, akan tetapi dirasakan juga oleh tetangga maupun saudara sekampung yang menghadiri undangan dalam acara makan tersebut.

Ketika bayi sudah lahir kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada zaman dulu banyak yang sudah ditinggalkan. Mereka telah mengikuti anjuran-anjuran dari bidan rumah sakit tempat mereka melakukan persalinan, misalnya bayi yang baru lahir tidak boleh diberikan makanan. Kebiasaan dulu bayi yang baru lahir langsung diberikan pisang, kalau di Aceh biasanya pisang wak (pisang monyet) kebiasaan-kebiasaan ini telah berubah.

Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat untuk melahirkan pada bidan rumah sakit, tidak lagi pada bidan kampung. Pergeseran budaya ini telah ada, namun bidan-bidan kampung tetap difungsikan untuk mengurus bayi dan ibunya. Walaupun bidan kampung, sebahagian di antara mereka telah mendapatkan pelatihan dari bidan rumah sakit, sehingga dia dalam mengurus bayi dan ibunya tidak menyimpang dari anjuran rumah sakit.

Upacara turun tanah, disimbolkan pada kesucian ibu bayi yang baru saja melewati masa persalinan. Dalam prosesi upacara ini juga melibatkan bayi yang baru lahir, di mana pada saat upacara berlangsung bayi dibawa ke luar rumah. Ibu yang baru melahirkan dianggap tidak suci lalu tidak dibolehkan untuk ke luar rumah, disebabkan karena dia dalam keadaan masa nifas, haids dan wiladah.

Pada saat turun tanah di sinilah puncaknya bahwa dia telah suci terbebas dari darah kotor sehingga dia telah boleh ke luar rumah. Begitu juga dengan bayinya, sebetulnya bayi yang belum berumur satu bulan masih dianggap rentan dengan penyakit sehingga bayi tidak dibolehkan untuk ke luar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa apa dia sakit dan sebab lainnya yang sangat mendesak.

Namun, pada saat upacara turun tanah pertama sekali bayi mengenal dunia luar. Di sinilah bayi diajarkan dengan dunia luar, di mana kita itu harus giat bekerja dan jangan malas-malasan, karena kalau sifatnya malas akan berakibat buruk bagi kehidupannya kelak. Rangkaian dari upacara ini adalah proses pembelajaran sehingga dapat kita ambil iktibar dalam kehidupan kita sehari-hari, adat istiadat yang terdapat dalam suatu upacara harusnya tetap dilestarikan karena adat merupakan salah satu cerminan dari budaya bangsa.

Penutup
Adat menyambut kelahiran anak adalah kebiasaan masyarakat Aceh dengan mengadakan upacara yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam ajaran Islam. Ketentuan tersebut telah menjadi kepercayaan dan tradisi orang-orang tua yang dilakukan pada masa dahulu.

Serangkaian upacara tersebut seperti ba bu (bawa nasi ), cuko oek (cukur rambut), peucicap (memberi rasa makanan), akikah dan turun tanah dinilai penting dan bermakna dalam kehidupan, sehingga perlu untuk dijalankan sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan. Di zaman serba modern sekalipun, kegiatan ritual ini akan menjadi aset wisata budaya. Zaman boleh saja modern, namun adat dan budaya jangan sampai hilang, jadi kita berusaha bagaimana adat dan budaya tersebut tetap tampil disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Penulis:
Cut Zahrina, S.Ag. adalah Tenaga Honorer pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Download File Asli:

http://www.pintoaceh.com/hb/hb43/cut_hb43_lahir.rar

Refungsionalisasi dan Reinterpretasi Budaya (Upacara Kematian pada Masyarakat Aceh)

Oleh: Sudirman, S.S.

Pendahuluan
Setiap kebudayaan yang dibicarakan seiring dengan agama, bermakna bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk, sedangkan agama adalah sesuatu yang diberikan Allah. Perbedaan konseptual yang sebenarnya belum dapat dikompromikan, meskipun dapat saja dikatakan bukankah yang percaya kepada Tuhan itu juga manusia.

Apabila agama dan kebudayaan berada dalam analisis yang berbeda, maka kebudayaan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, harus disadari bahwa masyarakat adalah hasil konseptualisasi, bukan realitas sesungguhnya. Secara konseptual masyarakat muncul karena kumpulan individu-individu dan masyarakat kemudian menghasilkan simbol-simbol.

Kebudayaan Islam mempunyai dua aspek. Pertama, simbol-simbol yang terpancarkan dari ajaran agama yang abadi dan universal kepada para penganutnya.. Agama yang abadi dan universal itu kemudian memberikan jembatan antara ajaran dengan kesadaran dan membebaskan manusia secara spiritual dan intelektual dari keterikatannya pada tempat, waktu, dan struktur objektif yang mengitarinya. Dengan demikian, kebudayaan Islam adalah usaha penterjemahan agama ke dalam konteks zaman dan lokalitas. Aspek kedua, agama adalah sebagai inspirasi kultural dan estetik. Ajaran agama yang diwahyukan adalah wilayah intelektual dan spiritual yang terbatas. Ada wilayah yang menjadi rahasia Tuhan dan wilayah yang dapat dimasuki oleh manusia. Dari inspirasi kultural dan estetik itu muncul berbagai budaya.

Berkaitan dengan studi yang berkaitan dengan masyarakat Islam, dapat didekati dari tiga sudut pendekatan yang setiapnya menampilkan wujud Islam dalam gambar yang berbeda. Ketika pendekatan itu dikenal dengan Islam Normative, Islam Interpretatif, dan Islam Practice. Islam normative adalah sebagaimana yang dirinci dalam Alquran dan Hadist. Islam interpretative yang difahami dan diinterpretasikan oleh para ulama Islam terhadap Alquran dan Hadist. Sementara Islam practice sebagaimana terwujud dalam dalam bentuk prilaku umat Islam, baik aktivitas sehari-hari maupun aktivitas budaya umat Islam.

Dalam kerangka metodologi Antropologi melihat prilaku ritual dan aktivitas budaya umat Islam. Apa makna yang dapat difahami dari seluruh simbol-simbol dari upacara budaya umat Islam. Data-data yang diperoleh diinterpretasikan dan mengkonstruksikan data tersebut ke dalam makna-makna khusus.

Demikian halnya yang terjadi pada salah satu upacara masyarakat Islam di Aceh terutama di pantai selatan dan barat, yaitu upacara kematian. Secara normativ, upacara itu hanya meliputi empat hal, yaitu memandikan, menkafankan, mensalatkan, dan menguburkan. Namun kemudian berkembang menurut zaman, situasi dan kondisi. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba melihat, sejauhmana pengaruh interpretatif dan praktis terhadap upacara tersebut. Selanjutnya berusaha melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memaknai dan interpretasi terhadap upacara tersebut. Masih relevankah dengan situasi dan kondisi masa kini serta adakah melakukan refungsionalisasi terhadapnya.

Deskripsi dan Analisis Upacara
Upacara kematian adalah seperangkat upacara yang dilakukan mulai orang meninggal hingga proses penguburan. Kegiatan-kegiatan itu mulai dari meninggal, membuat keranda, membuat kafan, memandikan mayat, dan penguburan mayat di kuburan.

Suatu kebiasaan pada masyarakat Aceh apabila seseorang sedang mengalami sakit parah maka semua kerabat diberitahukan supaya dapat menjenguknya sebelum ia meninggal. Apabila tidak diberitahukan akan terjadi ketidakharmonisan dalam hubungan keluarga, karena seakan-akan oleh keluarga yang mengalami musibah itu tidak menghiraukan kerabatnya.

Apabila orang sakit parah itu sedang menghadapi maut (sakratul maut), ahli famili yang duduk di sekelilingnya geu peu entat (mengantarkan) dengan membisikkan ucapan Lailahaillallah pada telinga orang yang sedang menghadapi maut. Hal itu dilakukan karena masyarakat Aceh menganggap bahwa kalimat itu didengar dan diikuti oleh orang yang sedang menghadapi mati walaupun tidak kedengaran. Apabila seseorang yang mati dengan mengucapkan kalimat Lailahaillallah maka ia mati sebagai seorang muslim dan masuk surga, sehingga geu peu entat itu merupakan keharusan bagi masyarakat Aceh. Selain dengan kalimat Lailahaillallah, kadang kala juga dilakukan dengan dengan pembacaan Surat Yasin dalam Alquran. Hal itu dimaksudkan apabila yang sakit itu belum ajal maka akan disegerakan sembuhnya dan sebaliknya apabila yang sakit itu sudah ajalnya maka akan disegerakan dan meninggal dengan selamat. Setelah seseorang diyakini meninggal, maka mayat tersebut diletakkan di atas suatu tempat dan ditutup dengan kain panjang.

Selanjutnya, salah seorang dari keluarganya datang memberitahukan yang pertama-tama kepada teungku imam yang ada di kampung kemudian kepada semua kerabat baik yang dekat maupun yang jauh. Pemberiatuan kepada masyarakat gampong dilakukan oleh teungku meunasah atau orang lain dengan memukul tambur sesuai dengan irama dan jumlah pukulan menurut kebiasaan. Bunyi tambur untuk orang yang meninggal biasanya pukulan tambur sampai 7 ronde, yaitu ronde pertama sebanyak tiga kali pukul, kemudian berhenti, kemudian dipukul lagi tiga kali sampai dengan pukulan yang ketujuh. Apabila masyarakat gampong mendengar yang demikian, mereka berbondong-bondong datang ke rumah di tempat orang yang mati tersebut.

Setelah mereka berkumpul, seakan-akan aktivitas diambil alih oleh teungku meunasah dan geucik. Tuan rumah hanya bertanggung jawab di bidang material yang dibutuhkan dalam kegiatan itu. Pada saat itulah teungku meunasah dan geucik mendistribusikan pekerjaan kepada warga gampong. Anak-anak muda dikerahkan menggali kuburan, anak-anak perempuan dikerahkan mengangkut air mandi mayat, orang yang lebih tua dikerahkan untuk membuat keureunda (peti mayat) dan kafan.
Persiapan-persiapan yang dibutuhkan terutama kain kafan, papan keureunda, kikisan kayu cendana, kemeyan, kapur barus, minyak wangi, dan jenis bunga-bungaan yang harum. Hal itu dimaksudkan supaya mayat tersebut menjadi wangi dan harum, yang akan menghadap sang penciptanya. Acara memandikan mayat, buat keureunda, dan kafan sering dilakukan serentak dengan cara pembagian tugas pada warga gampong. Masyarakat Aceh berkeyakinan bahwa mempercepat penguburan mayat adalah lebih utama.

Mandi Jenazah
Acara mandi mayat dilakukan di rumah orang yang meninggal, walaupun berjauhan dengan sumur atau sungai untuk mengambil air. Kalau acara mandi tidak dilaksanakan di rumah, suatu keayiban pada kerabat yang ditinggalkan, seakan-akan tidak begitu perhatian terhadap orang yang meninggal. Bagi rumah yang berjauhan dengan sungai atau sumur maka dikerahkan tenaga anak-anak muda untuk mengangkut air, biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh anak-anak perempuan. Akan tetapi rumah-rumah di gampong pada umumnya mempunyai sumur dekat rumah.

Setelah persiapan-persiapan mandi disiapkan, maka teungku membaca doa sambil meremas-remas air ramuan yang disebut dengan air sembilan. Kemudian air diambil dengan baskom, lalu dituangkan oleh teungku kepada mayat dengan sangat perlahan-lahan, agar tubuh mayat tidak terasa sakit atau terkejut. Sebagian masyarakat Aceh beranggapan walaupun mayat sudah meninggal tetapi ia masih merasa, selain itu juga diyakini bahwa menyakiti orang yang sudah meninggal sama dengan menyakiti ketika ia masih hidup.

Anggota yang memandikan mayat terdiri atas kaum kerabat ditambah dengan teungku. Apabila yang meninggal itu seorang perempuan maka yang memandikan mayat itu semuanya perempuan. Setelah mayat dimandikan dengan air biasa, kemudian teungku mengambil air sembilan yang berisi ramuan-ramuan terutama jeruk purut dan lain-lain ramuan yang wangi lalu disiram pada tubuh mayat sebanyak sembilan kali. Oleh sebab itu disebut dengan air sembilan. Setelah itu mayat kembali disiram dengan air biasa.
Apabila kematian terjadi pada malam hari, dengan sendirinya orang berjaga sampai pagi hari, dalam hal itu yang meninggal itu diberi senjata untuk melawan jin-jin jahat berupa sebuah pisau kecil diletakkan di bawah bantalnya, dan orang-orang yang berjaga di dekatnya, sementara sebuah lampu dinyalakan di dekatnya. Penjagaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai mayat disentuh oleh seekor kucing, sebagian masyarakat menganggap, apabila mayat tersentuh kucing, roh yang mati akan menjelma menjadi hantu.

Kafan
Apabila mayat sudah dimadikan, kafan pun sudah disiapkan. Bagi orang yang mampu kain kafan itu sampai tujuh lapisan, dan bagi yang biasa hanya sampai tiga lapis saja. Kafan itu terdiri atas baju, celana, dan kain pinggang, kemudian ditambah dengan tiga buah bantal yang diisi dengan daun belimbing. Bantal itu diletakkan di kepala, pinggang dan di bagian lutut. Bantal itu berfungsi sebagai penahan agar mayat dalam keureunda tidak goyang atau terbalik.

Bentuk atau model kafan yang dipotong itu, tidak dijahit seperti menjahit celana biasa, melainkan dengan cara membentuk saja menyerupai celana, baju dan kain pinggang dengan cara memotong dengan gunting pada ujungnya, kemudian dikoyak dengan tangan. Pengoyakan dengan tangan itu memang suatu kebiasaan membuat kafan bukan berarti tidak dapat dipotong dengan gunting. Setelah kafan dikenakan pada tubuh mayat, lalu diikat dengan tali. Tali pengikat itu khusus dirobek dari pinggiran kain kafan tadi, bukan dengan tali lain.

Salat Jenazah
Setelah mayat selesai dibungkus dengan kain kafan, seterusnya mayat itu dimasukkan ke dalam keureunda (peti mayat). Keureunda yang telah berisi mayat, kemudian dibungkus dengan kain panjang. Setelah peti mayat itu dibungkus dengan kain, lalu peti mayat itu diusung bersama-sama ke meunasah atau mesjid untuk disalatkan, apabila jauh dengan meunasah atau mesjid, akan disalatkan di rumah. Anggota pengusung itu biasanya oleh kaum kerabat dari orang yang meninggal. Selain itu, dibantu pula oleh warga gampong, sedangkan yang lainnya mengikuti dari belakang.

Setelah sampai ke mesjid atau ke meunasah, mayat diletakkan di muka sekali dengan posisi kepala mayat ke sebelah utara dan kaki ke sebelah selatan.
Acara shalat jenazah dipimpin oleh teungku imeum dan diikuti oleh para jamaah lainnya. Kadang-kadang oleh teungku menanyakan terlebih dahulu pada keluarga yang meninggal, kalau ada di antara anggota keluarga itu untuk menjadi imam. Setelah shalat mayat selesai adakalanya memberi sedekah kepada orang yang ikut shalat mayat dan terkadang hanya kepada teungku saja.

Penguburan
Setelah jenazah siap untuk dikuburkan, maka pelaksanaannya harus segera dilakukan. Mayat diusung bersama-sama ke kuburan. Orang-orang yang mengusung terdiri atas keluarga yang meninggal, biasanya mengusung bagian kepala dan kaki, kemudian dibantu oleh para warga gampong. Pengunjung yang lain mengikuti dari belakang hingga ke kuburan. Di kuburan telah ditunggu oleh mereka yang menggali kuburan tadi. Mereka itu terdiri atas anak-anak muda gampong, yang dipinpin oleh seorang tua.

Setelah sampai ke lokasi kuburan, usungan mayat diletakkan di pinggir lubang kubur. Kemudian mayat diangkat dengan perlahan-lahan sambil dipayungi, terus dimasukkan ke dalam kubur. Semua ikatan bungkusan mayat tadi dilepaskan. Tindakan itu dilakukan karena ada di antara masyarakat beranggapan bahwa apabila mayat tidak dibuka ikatannya maka roh dari mayat itu akan menjadi burong punyot (syaitan berbalut).

Setelah mayat dimasukkan ke dalam kubur dan ikatan dari bungkus mayat yang diikat dari kafan tadi dilepas semua maka teungku dengan mengucapkan bissmillah... sambil mengambil tanah satu genggam kemudian menjatuhkan ke dalam kuburan dengan perlahan-lahan sekali. Kemudian baru diikuti oleh orang lain untuk menimbun lubang kuburan itu dengan cara perlahan-lahan pula. Hal itu dilakukan demikian sebagai penghormatan kepada mayat. Selain itu, juga agar tubuh mayat jangan terasa sakit dengan benturan tanah.

Setelah kuburan ditimbun dengan baik dan rapi dengan sedikit gundukan tanah, lalu diberi tanda di kepala dan bagian kaki dengan pohon tertentu, biasanya pohon jarak dan pohon pudeng atau yang lainnya, sebagai tanda bahwa di tempat itu sudah ada kuburan atau sebagai tanda jangan bertukar dengan kuburan lain, tanda itu masih bersifat sementara sebelum diganti dengan batu nisan.

Selanjutnya, di atas kuburan disiram dengan air campur bunga dan jeruk purut oleh teungku sebanyak tiga kali dari posisi kepala ke kaki. Penyiraman itu dilakukan sebagai isyarat bahwa mayat itu sangat haus dan perlu diberi minum, dan isyarat lain sebagai komando untuk membangunkan roh agar si mati tahu bahwa ia telah mati. Kemudian teungku menyuruh hadirin untuk duduk berdekatan atau berkeliling kuburan, lalu teungku membaca doa talkin.

Kemudian teungku membaca talkin, lalu teungku melanjutkan dengan membaca doa selamat dan penutupan atas penguburan mayat dan kepada hadirin diminta untuk menadahkan tangan ke atas sambil menyebut dengan sahutan amiin. Setelah itu mereka pun pulan ke rumah masing-masing.

Setelah selesai acara penguburan mayat, keluarga yang ditinggalkan biasanya menyiapkan suatu tempat khusus yang dihiasi dengan belbagai perangkat tidur yang diperuntukkan kepada roh orang yang sudah meninggal. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa roh orang yang sudah meninggal itu masih kembali dan mengunjungi rumahnya, sehingga perlu disiapkan tempat seperti itu sebagai perlambang juga bahwa ia telah meninggal.

Geumunjong
Suatu kebiasaan bahkan sudah menjadi suatu keharusan bagi masyarakat, apabila seseorang meninggal, maka orang lain akan berkunjung ke rumah orang yang meninggal tersebut. Hal itu dilkakukan sebagai rasa kebersamaan dan ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang yang terkena musibah.
Dalam kunjungan tersebut, biasanya orang memberi uang, atau beras menurut kemampuan masing-masing. Acara geumunjong itu juga dimanfaatkan sebagai ajang ukhuwah untuk saling mengunjungi. Tuan rumah biasanya hanya memberi air minum berupa teh manis, kopi atau air putih.

Kenduri
Setelah selesai upacara penguburan mulai dari hari pertama sampai dengan hari keenam mayat dalam kuburan, upacara-upacara yang dapat digolongkan besar tidak diadakan. Dalam waktu-waktu itu acara hanya sekedar dilakukan untuk memberi makan seorang atau beberapa orang pengikut teungku yang melakukan samadiah setelah salat maghrib selama enam hari. Pemberian makan itu dilakukan sebagai ganti memberikan makan kepada orang yang telah meninggal, karena sebelum hari ketujuh dianggap roh orang mati itu masih tetap di rumah, bersama keluarganya.

Adakalanya dalam waktu-waktu sebelum hari ketujuh itu diadakan pula samadiah, tergantung permintaan dari keluarga yang meninggal. Pada malam pertama sering dihidangkan dengan ie bu puteh (air nasi putih) semacam dodol yang putih warnanya dibuat dari tepung. Pada malam ketiga dengan kue pampi (kue bugis), malam keempat dengan cingkhui sejenis lontong, dan malam kelima dengan kue putro manou (tepung bentuk bulat).

Sebelum kenduri ketujuh tiba, keluarga yang meninggal sudah tampak sibuk menyediakan persiapan-persiapan. Persiapan itu dapat dibagi atas dua macam, yaitu persiapan ringan berupa kue-kue dan persiapan untuk makan. Apabila kenduri tujuh dilakukan secara besar terutama bagi orang yang mampu biasanya ia menyembelih kambing bahkan kerbau pada siang harinya. Apabila pada hari ketujuh itu tidak dilakukan upacara kenduri, masyarakat banyak membincang bahwa seakan-akan keluarga orang yang meninggal tidak menghiraukan orang yang sudah meninggal bahkan dianggap sama seperti hewan yang mati.

Pada malam yang ketujuh semua kerabat dan tetangga yang berdekatan datang menghadiri upacara malam ketujuh. Para kerabat biasanya membawa bahan-bahan mentah berupa beras, kelapa, dan sayur-sayuran, gula, uang, dan lainnya. Kerabat biasanya sudah terlebih dahulu datang sebelum malam ketujuh, untuk membantu pelaksanaan upacara. Sedangkan tetangga dan masyarakat lainnya membawa aneka kue bagi perempuan dan gula oleh orang laki-laki.

Setelah semua tamu datang, teungku mulai memimpin upacara yang didahului dengan samadiah. Biasanya upacara itu berlangsung dalam waktu yang lama samapai dua atau tiga jam. Semua peserta turut mengikuti pembacaan samadiah. Mula-mula dibaca oleh teungku, kemudian diikuti oleh peserta. Peserta mengikuti upacara itu dengan penuh khidmat sambil mengharapkan agar pembacaan samadiah diterima oleh Allah dan berpahala, juga dapat mengampuni dosa-dosa yang pernah diperbuat selama yang meninggal masih hidup di dunia.

Setelah pembacaan samadiah selesai, upacara dilanjutkan dengan acara makan kenduri. Adakalanya makan kenduri itu dilakukan sebelum pembacaan samadiah, hal itu tergantung kepada kesepakatan antara tamu dengan keluarga orang yang meninggal. Kalau acara makan kenduri diadakan sebelum pembacaan samadiah, maka setelah pembacaan samadiah disajikan dengan acara minum dan makan kue-kue.

Selesai acara pembacaan samadiah, acara terus dilangsungkan dengan pembacaan Alquran. Peserta terdiri atas orang-orang yang sanggup membaca Alquran dengan lafal dan irama yang baik. Acara dipimpin oleh teungku, setelah teungku membaca pertama, kemudian diikuti oleh peserta lainnya yang duduk di sebelah kanan teungku, dan terus bergiliran menurut tempat duduk. Posisi duduk biasanya melingkar maka acara pembacaan pun terus berlingkar hingga selesai acara. Adakalanya, pembacaan ayat Alquran terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan samadiah.

Apabila acara pembacaan Alquran sudah selesai, maka teungku menutup acara dengan pembacaan doa. Para peserta lainnya menadah tangan ke atas sambil menyebutkan amiiin. Ketika pembacaan doa hampir selesai, salah seorang anggota keluarga bangun memberikan sedekah, biasanya dimasukkan ke dalam kantong baju peserta. Banyaknya jumlah uang yang disedekahkan itu tergantung pada kemampuan keluarga yang meninggal.
Kenduri dan sedekah yang diberikan kepada tamu itu mempunyai tujuan agar mendapat pahala dan sebagai pemberian kepada roh yang meninggal. Karena ada di antara masyarakat yang beranggapan bahwa roh orang yang meninggal itu sebelum 40 hari masih selalu mengunjungi rumahnya. Oleh sebab itu kepada roh itu perlu diberi makan. Jadi semua pemberian kepada tamu sebagai ganti memberikan kepada orang yang sudah meninggal.

Pula batee
Pada hagi harinya, anggota keluarga bersama seorang teungku mengunjungi kuburan dengan maksud melakukan upacara pula batee (menanam batu nisan) dan menabur batu putih di atas kuburan. Setelah itu, dilakukan upacara siraman, yaitu menyiram di atas kuburan sebanyak tiga kali dengan air ramuan wewangian yang sudah disiapkan. Upacara menanam batu nisan dan siraman dipimpin oleh teungku, setelah teungku menanam batu nisan, lalu membaca doa, bagi orang yang mampu akan memberi sedekah seadanya. Selain itu, juga sudah disiapkan nasi ketan untuk dibagikan di kuburan termasuk kepada teungku.

Setelah selesai upacara kenduri ketujuh, upacara baru dilakukan lagi pada hari keempatbelas yang disebut dengan kenduri duaseun tujuh, kenduri keempat puluh dan seterusnya, tergantung kemampuan keluarga yang ditinggalkan. Maksud upacara itu sama seperti upacara-upacara sebelumnya, yaitu untuk menghormati roh orang yang sudah meninggal karena dianggap roh orang yang sudah meninggal masih mengunjungi rumah bersama keluarganya.

Refungsionalisasi dan Reinterpretasi Upacara Tradisional
Pengembangan kebudayaan harus diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan makna pada pembangunan dalam segenap dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara serta ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia serta memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.

Kebudayaan lokal di daerah harus dikembangkan dan diberdayakan guna menunjang pembangunan daerah. Pengembangan kebudayaan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia baik yang bersifat materi, etis, maupun estetis. Pengembangan kebudayaan merupakan bagian dari upaya bangsa dalam menghadapi globalisasi dan mengantisipasi masa depan dengan segala masalah dan tantangannya. Warisan budaya masa lalu tetap penting dan bermakna, namun harus ditambah dengan nilai-nilai baru secara kreatif dan disesuaikan relevansi zaman. Pengembangan kebudayaan juga diarahkan pada keutuhan pandangan guna membentung munculnya perpecahan dan kontradiksi di kalangan masyarakat yang pluralistik.

Nilai-nilai budaya yang perlu dipertahankan dalam pembangunan adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan, seperti hidup hemat, berhati-hati, bersih, dan bersemangat. Nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan dan kekuasaan alam, misalnya inovasi teknologi sesuai dengan lingkungan dan potensi alam. Nilai budaya yang memandang tinggi hasil karya manusia, yaitu motivasi untuk berbudaya kreatif dan produktif, serta berkarya sendiri. Nilai budaya yang mendorong pada kemandirian, percaya diri, untuk mencapai sesuatu keberhasilan yang tinggi. Nilai budaya yang mengembangkan tanggung jawab bersama sehingga mau berpartisipasi, bergotong royong, toleransi, dan mau hidup berdampingan. Selanjutnya, nilai-nilai dasar yang perlu dikembangkan adalah nilai-nilai yang menitikberatkan pada perjuangan kelayakan hidup, yaitu pengemban nilai-nilai ekonomi agar terlepas dari kemiskinan. Nilai-nilai yang mempertahankan jati diri atau mempertahankan keberadaan, yaitu ingin menciptakan masyarakat yang makmur dan adil. Nilai yang berhubungan dengan wawasan kebangsaan, terutama dalam menghadapi dunia yang semakin terbuka, budaya inovatif, kreatif, dan produktif. Nilai yang melindungi kehidupan yang bersama yang plural, yaitu solidaritas, keadilan dan pemerataan. Nilai ekonomi yang mengimbau terjadinya persaingan yang sehat dalam dunia global, inovatif, menciptakan nilai-nilai baru. Nilai aman, damai, tentram, yang menciptakan kondisi membangun yang cepat dan terkenal kembali. Nilai berinteraksi dengan lingkungan, demi kelestarian potensi alam sehingga ada rasa bertanggung jawab terhadap generasi yang akan datang.

Untuk itu, budaya daerah khususnya upacara kematian yang ada di masyarakat perlu ditinjau kembali, apakah upacara itu masih relevan dengan zaman yang semakin kompleks, seperti dari segi waktu, tenaga, hemat dan kebersihan. Hal itu dapat kita perhatikan, misalnya upacara kenduri yang dilakukan selama beberapa hari ; sangat menyita waktu dan tenaga, serta biaya. Bagi orang yang tidak mampu sekalipun kadangkala memaksakan diri untuk melakukan upacara kenduri bahkan dengan meminjam sana-sini bahkan dengan menjual harta yang ada. Setelah acara itu selesai, selain hartanya sudah habis juga harus menanggung beban hutang. Padahal biaya dan harta tersebut dapat digunakan sebagai modal usaha dan biaya hidup keluarga yang ditinggalkan.

Pelaksanaan upacara yang menghabiskan waktu berhari-hari juga sangat merugikan, yang mestinya dapat melakukan sesuatu kegiatan atau pekerjaan yang lebih bermanfaat. Oleh karena itu, upacara yang menghabiskan biaya dan waktu secara berlebihan sudah perlu dipikirkan, apalagi pada zaman yang sangat menghargai waktu tentu sangat sia-sia menghabiskan waktu pada kegiatan yang tidak begitu esensial. Begitu juga halnya dengan nilai hidup bersih, dapat kita perhatikan bahwa makanan yang diolah di tempat upacara kematian itu masih kurang memperhatikan segi kebersihan dan kesehatan.
Prosesi acara yang dianggap skral tersebut sebenarnya dapat direfungsi dan interpretasi dengan tidak merubah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Bali. Di Bali, sesuatu yang dianggap sakral dapat dipropan dan disemipropankan untuk dikonsumsikan sebagai hiburan kepada masyarakat umum.

Penutup
Upacara adalah tata nilai yang diyakini, namun nilai-nilai itu tidak berarti bersifat tetap, tetapi dinamis. Nilai-nilai upacara dapat dikembangkan dan ditafsirkan sesuai dengan realitas yang dihadapi. Upacara yang merupakan bagian dari tata cara kehidupan sosial yang merujuk pada realitas sosial masa lalu. Tentu gambaran dan penafsiran yang dilakukan saat itu belum tentu dapat diterapkan lagi untuk kondisi sosial saat ini yang berbeda dan jauh lebih kompleks karena perkembangan masyarakat. Proses reinterpretasi adalah sebuah keharusan tanpa harus meninggalkan nilai-nilai fundamental. tetapi dinamis dan dapat diinterpretasi terus-menerus tanpa kehilangan maknanya yang konstan. Tanpa reinterpretasi, upacara akan menempati posisi yang sama dan selalu terlibat ketegangan dengan perkembangan zaman.
Setiap fenomena sosial dan individual dapat dilacak akar permasalahannya, memang patut dipertanyakan kembali posisi dan fungsi upacara dalam kehidupan masyarakat. Apabila agama telah menjadi standard dan sumber pandangan hidup pemeluknya, tetapi mengapa fenomena sosial dan individual yang dijumpai banyak yang tidak mencerminkan nilai-nilai agama karena belum tentu juga bahwa fenomena sosial dan individual tersebut merupakan pencerminan religius masyarakat.

Arus perubahan tetap berjalan, upacara tradisional hanya menjadi tempat pelarian yang perkembangannya kemudian memposisikan diri berhadapan dengan perkembangan kebudayaan. Kondisi seperti itu tidak mungkin terus dibiarkan berlangsung karena akan mengakibatkan kerugian kemanusiaan dalam kehidupan beragama dan berbudaya. Tanpa adanya perubahan upacara akan mengasingkan manusia dan ditinggalkan manusia dari kenyataan hidup yang semakin kompleks.

Penulis:
Sudirman, S.S. adalah Tenaga Teknis (peneliti) pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Download File Asli:

http://www.pintoaceh.com/hb/hb43/dirman_hb43_upmatee.rar

Kenduri Laot dan Dinamika Kekiniannya

Oleh: Agung Suryo S.

Pendahuluan
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Secara analisis, kebudayaan masyarakat Indonesia merupakan suatu sistem yang terbentuk dari kebudayaan nasional, kebudayaan suku-suku bangsa dan kebudayaan lokal. Oleh karena itu kebudayaan lokal sebagai substansi pokok kebudayaan Indonesia memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai bentuk identitas suatu komunitas masyarakat. Melalui kebudayaan lokal masyarakat dapat mengeksplorasi diri yang kemudian dituangkan sebagai bentuk budaya.

Kebudayaan lokal adalah kebudayaan yang berkembang pada suatu komunitas kawasan tertentu yang secara berkesinambungan tetap dijaga kelestariannya, kemudian diakui oleh seluruh masyarakat di daerah tersebut. Meskipun terdapat banyak pengaruh dan gesekan dengan bentuk budaya lain, masyarakat Indonesia tetap mempunyai tradisi khas walaupun telah mengalami akulturasi dengan budaya lain.

Masyarakat Aceh yang terkenal dengan ciri keIslamannya juga memiliki karakter-karakter tersendiri dalam kehidupannya, yang terefleksikan dalam berbagai sistem kebudayaan yang melingkupinya dengan karakteristik yang membedakan dengan masyarakat di daerah atau tempat lain. Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Aceh memiliki peranan yang cukup besar dalam setiap aktivitas bermasyarakat, yaitu sebagai pijakan utama dari berbagai bentuk aktivitas.
Agama merupakan bagian/unsur penting dalam kehidupan manusia yang dapat memberikan ajaran-ajaran yang berupa aturan-aturan serta petunjuk-petunjuk yang dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia dan diyakini kebenarannya. Dalam kajian antropologi, agama dilihat sebagai sistem kebudayaan atau sebagai pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol yang dapat digunakan manusia dalam kehidupan sosialnya.

Dalam masyarakat tradisional melaksanakan muatan budaya itu antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan berbagai macam upacara tradisional yang memang menjadi arena dan sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat pewarisan tradisi. Upacara-upacara tersebut antara lain berfungsi sebagai sarana untuk mengokohkan muatan kebudayaan yang didukung oleh masyarakat yang bersangkutan. Keterikatan dan keterlibatan para anggota masyarakat dalam kegiatan-kegiatan upacara merupakan bagian yang integral dan berguna informatif bagi kehidupan sosial. Ia bukan hanya berhubungan unsur emosi religius, organisasi keagamaan, tetapi juga unsur-unsur universal yang lain (sistem kemasyarakatan, sosial, pengetahuan, teknologi, kesenian, keagamaan dan ekonomi), sehingga mampu merangsang rasa solidaritas dan kesamaan nasib diantara sesama anggota masyaraktnya.
Upacara-upacara yang berhubungan dengan adat dari suatu masyarakat pada hakekatnya merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungannya, dimana kebudayaan sebagai pola tingkah laku manusia diperoleh dan diwariskan melalui proses belajar dengan menggunakan lambang yang mencakup benda dan peralatan karya manusia yang terdiri dari gagasan-gagasan nilai-nilai budaya hasil abstraksi pengalaman para pendukungnya yang selanjutnya mempengaruhi sikap dan tingkah laku pendukung itu sendiri.

Sebagai salah satu aspek dalam unsur religi dari kebudayaan universal, maka upacara tradisional juga memperlihatkan adanya muatan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai ini berfungsi besar dalam mengatur tingkah laku masyarakat pendukungnya. Salah satu ciri penting dalam upacara tradisional adalah besarnya kekuatan unsur sakral yang dipandang sebagai magis yang bersumber dari sistem religi yang dipegang bersama. Berdasarkan ciri tersebut tersebut, maka upacara tradisional dapat dipandang sebagai suatu pranata sosial religius yang tidak tertulis tetapi terpola dalam sistem ide atau gagasan bersama (collective representation) setiap anggota masyarakatnya.
Upacara tradisional merupakan sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasa terjadi di dalam masyarakat yang bersangkutan. Upacara-upacara tradisional terdiri dari perbuatan-perbuatan yang seringkali tidak dapat diterangkan lagi alasan atau asal usulnya. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang secara spontan dengan tak dipikirkan lagi gunanya. Suatu upacara keagamaan yang kompleks seringkali dapat dikupas kedalam beberapa unsur perbuatan yang khusus, yang terpenting diantaranya adalah: (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, (e) menari dan bernyanyi, (f) berprosesi, (g) memainkan seni drama, (h) berpuasa, (i)intoxikasi, (j) bertapa, (k)bersemedi.

Aktivitas selamatan atau upacara yang dilakukan masyarakat tradisional merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia bawah (manusia) dengan dunia ritus atas (Tuhannya). Melalui selamatan, sesaji atau ritus maka diharapkan bisa menghubungkan manusia dengan dunia atas, dengan leluhurnya, roh halus, dan Tuhannya, yang akan memberi berkah keselamatan manusia di dunia ini. Prinsip inilah yang menjadi dasar pada upacara tradisional, selamatan atau ritus yang dilakukan setiap komunitas atau masyarakat di Indonesia.

Disadari atau tidak dalam kebudayaan pastilah terjadi perubahan. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti nilai-nilai baru yang masuk maupun kebudayaan lama dianggap tidak sesuai lagi. Perubahan tersebut secara signifikan dapat mengakibatkan pergeseran fungsi suatu kebudayaan. Upacara-upacara sebagai bagian dari kebudayaan bukan lagi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan psikis, sakral namun dapat menjadi modal bagi pembangunan, strategi ekonomi, konsolidasi sosial bahkan transformasi ilmu dan nilai.

Begitu pula yang terjadi dalam kebudayaan lokal yang dimiliki entititas-entitas di Indonesia. Adapun perubahan tersebut dapat meliputi bentuk maupun esensi. Seperti yang terjadi dalam masyarakat nelayan di Aceh yang melestarikan tradisi Kenduri Laot sebagai tradisi mereka.

Seperti Apa Kenduri Laot?
Kenduri Laot atau sering disebut dengan Adat Laot merupakan tradisi masyarakat pesisir di Provinsi Aceh. Peringatan Kenduri Laot yang dilaksanakan pada setiap tahun salah satunya berfungsi untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom Adat Panglima Laot.
Seorang pemuka masyarakat yang bernama Hasan yang juga Sekretaris Panglima Laot di Seunuddon Aceh Utara mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga sebagai sarana mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah digariskan oleh Endatu (nenek moyang).

Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh. Menurut sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu dilatarbelakangi dengan peristiwa karamnya kapal yang digunakan oleh seorang anak panglima yang pergi melaut pada jaman dahulu, namun anak panglima ini selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke pinggir pantai. Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian berlangsung sampai sekarang.

Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat akan berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai yang merupakan wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat nelayan Aceh merupakan sebuah perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan setempat.

Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai kemampuan. Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak. Besarnya sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga. Musyawarah itu juga menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.

Pertama-tama dalam upacara kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan. Dalam tahap ini dipersiapkan antara lain berbagai persajian makanan yang diperuntukkan untuk tamu-tamu juga warga masyarakat yang mengikuti upacara. Selain itu juga dipersiapkan perlengkapan peusijuk sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut sesaji yang akan dibawa ke tengah laut.

Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka tahap berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara kenduri laot memiliki perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya baik mengenai waktu ataupun ritual didalamnya, namun pada intinya sama. Tahap ini dimulai pada pagi hari atau setelah sembahyang Shubuh selesai dilakukan. Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Setelah itu panglima laot memulai memandaikan kerbau yang akan disembelih, selesai dimandikan kerbau tersebut dipeusijuk(ditepung tawari) oleh panglima laot yang diikuti oleh teungku/imum dan tokoh masyarakat. Ketika panglima laot mempeusijuk (menepung tawari) kerbau, panglima laot dan peserta-peserta yang hadir secara bersama-sama membaca takbir dan shalawat Nabi. Setelah kerbau tersebut selesai dipeusijuk kemudian disembelih.

Adakalanya di daerah lain, sebelum kerbau disembelih, kerbau tersebut selama tujuh hari setiap sore sehabis shalat asar dilakukan upacara, yaitu diaraknya kerbau menyusuri bibir pantai wilayah pantai dalam suatu kemukiman. Tidak mengherankan selama tujuh hari sebelum acara kenduri laot dilaksanakan, pantai selalu penuh ramai oleh masyarakat yang menyaksikannya.

Daging kerbau yang telah selesai disembelih kemudian dimasak. Semua masakan baik daging kerbau maupun makanan lainnya tidak dibenarkan dimakan sebelum ada perintah dari panglima laot dan panitia. Setelah daging dan nasi dimasak sebagian langsung dipisahkan, untuk dinaikkan ke perahu bersama-sama dengan orang-orang yang membaca doa. Sisa dari kerbau yang tidak dimasak seperti isi perut dimasukkan kembali dalam kulit kerbau dan dijahit seperti semula. Perahu yang membawa rombongan berangkat menuju ke tengah laut dengan membawa sesaji berupa kepala kerbau dan isi perut serta tulang untuk dibuang ke tengah laut. Dalam perjalanannya ke tengah laut tersebut dikumandangkan pula azan. Setelah kira-kira sampai ditengah laut kemudian kapal yang membawa sesaji tersebut berhenti dan menurunkan sesaji yang dibawa tersebut dan dilanjutkan dengan membaca doa dari ayat-ayat Al-Quran seperti surat Yasin, Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, serta doa-doa selamat dan doa syukur.

Sekembalinya dari laut, diadakan acara makan bersama dengan para undangan, anak-anak yatim serta fakir miskin. Selesai makan, panglima laot memberi petunjuk-petunjuk berkenaan dengan pantangan-pantangan melaut. Pantangan turun melaut ini diterima oleh masyarakat nelayan sebagai suatu hukum adat yang mengatur tingkah laku dalam melaut. Pantangan tersebut seperti dilarang turun sehari penuh pada hari kenduri berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari jumat sejak terbit matahari hingga selesainya shalat Jumat, bila nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus kembali ke darat sebelum pukul 08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama tiga hari terhitung hari pertama sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan yang sedang mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga selesai penguburan.

Setelah panglima laot selesai memberikan nasehat-nasehatnya, adakala dari tetua atau ulama dan pejabat pemerintah juga turut memberi sambutan yang intinya adalah petuah-petuah menyangkut kehidupan bermasyarakat, dan doa kepada Allah agar kehidupan nelayan diberkati. Setelah panglima laot dan juga pejabat-pejabat pemerintah selesai memberikan nasehat-nasehatnya selesai pula acara kenduri laot.

Transformasi Kenduri Laot
Seperti setiap organisme hidup, kebudayaan memiliki dua kecenderungan, yaitu kecenderungan untuk tinggal tetap sama (statis), dan kecenderungan untuk berubah. Selalu ada unsur baru yang bertambah, yang lain lagi akan hilang atau diganti. Perubahan dn pergantian ini terjadi bukan dengan kebetulan, melainkan sesuai dengan kebutuhan kebudayaan tertentu. Kebudayaan selalu berubah, karena individu yang membantu masyarakat dan yang menjadi pemmbangunan kebudayaan selalu mengubah rencana dan cara hidupnya, mencoba menyesuaikan dengan lingkungannya, baik jasmani maupun rohani.

Perubahan kebudayaan dapat terjadi dengan teratur, tetapi kadang-kadang dia kehilangan keseimbangan dan mengalami kekacauan. Ada kebudayaan yang berubah lebih cepat dan ada yang berubah lebih lambat, tetapi semua berubah. Karena perubahan adalah sifat hakiki kehidupan maka menolak perubahan berarti bunuh diri secara budaya. Perubahan itu dapat terjadi karena (bencana) alam akan tetapi juga dan lebih sering karena manusia. Manusia mengolah kehidupan agar lebih cocok demi keselamatan dan kesejahteraannya. Namun perubahan itu menimbulkan reaksi dari kehidupan dan manusia harus melakukan pengolahan kembali. Demikianlah terus-menerus terjadi, seperti digambarkan dengan jelas dan simbolis oleh orang Yunani Purba dalam mitos Odysseus. Adapun pengolahan yang pertama-tama dilaksanakan manusia itu di lakukannya pada tataran sistem, yaitu sistem gagasan. sistem perilaku dan sistem peralatannya, Dengan sistem yang sudah diubahnya manusia menghadapi dan mengolah kehidupan yang diharapkannya akan berubah ke arah yang lebih sesuai bagi keselamatan dan kesejahteraannya. Kiranya jelas, bahwa manusia tidak dapat mengolah kehidupan tanpa mengolah sistem-sistem yang sudah diciptakannya. Sementara sistem-sistem itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari kita sebut sebagai kebudayaan. Kiranya jelas pula, Tanpa siap untuk berubah sesuai dengan sifat hakiki kehidupan berarti tidak siap untuk berubah secara budaya. Masyarakat yang tidak mau berubah akan mandek dan bahkan hancur, karena secara budaya sikap seperti itu dapat dibandingkan dengan perbuatan bunuh diri.

Namun menerima perubahan atau siap untuk berubah dan mengubah tidak berarti, merupakan kegiatan yang alamiah. Perubahan dilakukan secara sadar demi keselamatan dan kesejahteraaan, kalau mungkin kesejahteraan yang lebih tinggi daripada: sebelumnya. Dengan demikian perubahan itu harus dilakukan secara kreatif. Perubahan harus dilakukan dengan pertama-tama mengidentifikasi masalah-masalah secara tepat dan kemudian memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah itu secara tepat pula.

Transformasi mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama bertahap-tahap akan tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang cepat bahkan abrupt.

Berbagai ilustrasi tentang sudut pandang mengenai perubahan dan transformasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dibayangkan pada suatu masa, pada suatu ketika, berubah bahkan menghendaki perubahan yang berakhir (sementara) dengan suatu transformasi. Kenyataan tersebut juga menunjukkan cepat atau lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat pada suatu saat akan meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan. Transformasi adalah kondisi perubahan dari serat-serat budaya tersebut.

Tradisi kenduri laot yang berlaku dalam masyarakat nelayan di Aceh, tradisi yang sarat dengan nilai-nilai sakral itu pun kini mengalami apa yang disebut dengan transformasi. Sebagai bagian dari suatu unsur kebudayaan, kenduri laot yang merupakan salah satu penyangga kebudayaan Aceh turut mengalami perubahan-perubahan. Baik perubahan secara fisik, esensi, ataupun ide gagasan dibelakangnya. Hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan masa, juga dipengaruhi unsur-unsur khilafiah keagamaan yang menumbuhkan dua pendapat berbeda terhadap prosesi pelaksanaan kenduri laot.

Khilafiah itu bagi sebagian masyarakat dan ulama memandang tradisi kenduri laot ini adalah sebuah acara adat yang sudah berlaku dalam masyarakat Aceh secara turun temurun yang harus dipertahankan pelaksanaannya. Apalagi didalamnya mengandung nilai-nilai sakral yang harus dijunjung manusia dalam melakukan setiap aktifitasnya yang berhubungan dengan laut. Sementara di lain pihak cenderung memandang bahwa upacara kenduri laot adalah sebuah tradisi yang didalamnya sarat dengan pemahaman tahayyul yang tidak boleh dilakukan masyarakat muslim.

Kini kenduri laot tidak saja hanya digelar untuk menandai akan dimulainya musim melaut. Dalam suatu kesempatanpun, kenduri laot dilaksanakan untuk merayakan pergantian panglima laot seperti yang terjadi di pelabuhan Lampulo. Kenduri yang diadakan di pelabuhan Lampulo pada tanggal 2 April 2007 yang lalu ini merupakan momen nelayan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa nelayan punya manajemen yang kuat serta menganut sistem demokratis dalam pergantian panglima laot yang baru. Selain itu, dalam kenduri laot itu pun dijadikan sebagai salah satu wadah aspirasi para nelayan Aceh khususnya nelayan lampulo untuk menyampaikan keluhan serta masalah yang mereka hadapi baik mengenai kelangkaan BBM untuk boat mereka dan lain sebagainya kepada pemerintah yang hadir pada pelaksanaan acara tersebut.

Lain lagi yang dilakukan masyarakat Desa Lhok Puuk, Kecamatan Seuneuddon, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Dahulu dalam setiap kenduri laot yang digelar selalu dilakukan pelarungan kepala kerbau, namun pada kenduri yang berlangsung tanggal 12 Agustus 2004 tersebut tradisi melarung kepala kerbau itu tidak dilakukan. Ada anggapan pelarungan kepala kerbau ke laut bertentangan dengan paham-paham agama. Para nelayan kemudian sepakat tidak melakukannya lagi. Apalagi dalam pertemuan dengan para panglima laot beberapa waktu lalu, unsur ulama setempat telah menyampaikan hal itu dan meminta pelarungan kepala kerbau itu lebih baik tidak dilakukan. Maka, saat kenduri laut hari itu, kepala kerbau dan dagingnya yang lain digulai. Makanan itu diberikan kepada undangan dan fakir miskin.

Dari segi makna yang terkandung dalam kenduri laot pun juga turut mengalami pelebaran. Bisa dikatakan pada mulanya kenduri laot murni bersifat religius, kini melebar ke ranah sosial kemasyarakatan. Dalam upacara kenduri laot mulai disipkan pesan-pesan moral ajakan kepada masyarakat baik disampaikan ulama ataupun pemerintah. Tidak ketinggalan pula diadakan acara sunatan massal bagi anak-anak yang tinggal di sekitar lokasi acara.

Penutup
Dalam tradisi masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang dikenal kental dengan nilai-nilai keIslamannya, maka tidak mengherankan dengan berjalannya waktu. Upacara kenduri laot yang semula masih kental dengan pengaruh-pengaruh tradisi lama yang cenderung ke arah pemujaan-pemujaan roh nenek moyang atau penunggu-penungu laut yang bersifat animisme lambat laun mengalami pergeseran.

Nilai-nilai Islam mulai masuk di dalamnya, seperti contohnya ketika di sebagian wilayah sudah menghilangkan sesajian-sesajian yang dianggap sebagai ritual-ritual mistis. Kepala kerbau yang dahulu dijadikan sesajen utamanya mulai dihilangkan digantikan dengan doa-doa yang lebih Islami. Dengan demikian sebagai sebuah upacara tradisional, kenduri laot telah mampu merubah diri dengan strategi-strategi adaftatifnya sehingga mampu berjalan beriringan dengan ajaran-ajaran Islam tanpa memusnahkan bentuk diri secara kompromis. Kenduri laot setidaknya telah merepresentasikan bagaimana sintesa budaya terjadi antara adat dengan agama Islam di Aceh melalui dialog-dialog budaya yang tentunya tidak akan berhenti di suatu titik, namun selalu berjalan.

Dalam membangun Aceh kedepan, hal yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah bagaimana memposisikan adat. Sejarah Aceh yang kita pelajari, betapa adat dengan syari`at duduk bersanding antara satu dengan lainnya saling mengisi, seperti gambaran hadist maja ini:

“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,
Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.
“Agama ngoen adat lagei zat ngon sifat”.
“Agama hana adat tabeu”
“Adat hana agama bateui”


Sebuah kekayaan tentunya apabila potensi-potensi budaya yang telah disebut diatas mampu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat maupun pemerintah khususnya dalam sektor pariwisata berbasis agama dan budaya sebagai ciri khas utama yang dimiliki masyarakat Aceh.

Penulis:
Agung Suryo Setyantoro, S.S. adalah Peneliti pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Download File Asli:
http://www.pintoaceh.com/hb/hb43/agung_hb43_klaot.rar

Seni dan Makna Rencong Aceh (Jenis Keahlian Tradisional Masyarakat Aceh)

Oleh: Cut Zahrina

Pendahuluan
Kesenian memiliki makna yang luas, tidak terbatas hanya pada satu persoalan saja. Sebelum kita membahas secara jauh maka ada baiknya terlebih dahulu kita memahami makna dari kesenian. Kesenian berasal dari kata seni, menurut kamus seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya dan sebagainya ; seni juga sebuah karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti : tari, lukisan, ukiran, yang termasuk juga di dalamnya seni kriya yaitu kerajinan tangan . Aktivitas masyarakat seringkali tidak lepas dari unsur seni sehingga seni menjadi bahagian yang penting dan bahagian dari wujud kebudayaan.

Setiap masyarakat memiliki ragam seni tersendiri, berbeda antara satu dengan yang lainnya karena dipengaruhi oleh pola pikir, lingkungan, maupun letak wilayahnya. Seni berkaitan dengan ekpresi, bagi Dilthey (1979,1986) ekspresi adalah sumber pengetahuan tentang manusia, yang mempunyai enam ciri : suatu ekpresi selalu mempunyai makna tertentu ; ada hubungan yang unik antara ekpresi dan apa yang diekpresikan 2. Hubungan itu tidak berbentuk kausal dan tidak bersifat temporal ; ekpresi adalah ciri fisik yang menunjuk pada kandungan mental ; ekpresi muncul dalam konteks atau merupakan bahagian dari konfigurasi ; mempunyai aturan tertentu, baik tertulis (seperti bahasa), maupun tidak ; ekpresi mempunyai dua sifat yang bertentangan, disatu pihak bersifat purposif (dapat muncul berupa tulisan, suara dan gerak yang disengaja)3, dalam suasana tertentu dapat juga berupa tindakan yang tidak sengaja akan tetapi memiliki makna.

Ekpresi ada dua dasar terjadinya yaitu pikiran dan suasana kehidupan. Ekpresi yang timbul dari intensi pikiran, misalnya konsep dan struktur pikiran. Keduanya adalah unsur pokok dalam ilmu pengetahuan dan berurusan dengan logika. Oleh karena itu, ekpresi yang dimaksudkan dalam kategori ini ada dalam bidang keilmuan dan menuntut adanya validitas yang lepas dari situasi yang dimunculkannya. Dasar kedua bagi lahirnya suatu ekpresi adalah suasana dan pengalaman hidup (life – expressions)4. Dalam kategori ini ekpresi bukan intensi pikiran , tetapi dikondisikan oleh pikiran. Berbeda dengan ekpresi yang lahir dari pikiran, maka life –expressions lebih banyak menampilkan segi-segi kehidupan, dengan sifat emosi dan psikologik yang cukup menonjol. Perbedaan lain dari yang disebutkan sebelumnya adalah tidak bisa dilepaskan ekpresi ini dari konteksnya. Pemahaman jadi sangat sulit karena interpretasi dapat berubah tergantung dari suasana konteks itu. Meskipun demikian, melalui ekpresi jenis ini orang dapat memahami suatu kandungan mental, sekalipun persoalan tersebut bukan menjadi tolak ukurnya. Sifat ekpresi yang seperti ini sama dengan sifat symbol yang menyatakan tetapi sekaligus juga menyembunyikan makna symbol itu sendiri.

Beranjak dari ciri-ciri tersebut di atas, apakah dengan mengkaji karya seni maka dengan sendirinya kita dapat mengkaji aspek mental senimannya?. Dalam hal ini Dilthey membedakan dua bentuk karya seni yaitu ; karya seni yang disebutnya otentik dan karya yang tidak otentik. Suatu karya yang tidak otentik tidak berbicara tentang kandungan mental senimannya, karena karya semacam itu hanya merupakan ilusi. Karya ini bisa dianggap lepas dari kandungan mental sang seniman, karena interes sang seniman sangat dipengaruhi oleh hal-hal praktis yang lebih kuat dari pengalaman hidup yang tersimpan dalam kandungan mentalnya. Dalam kondisi seperti ini tampaknya kita hanya dapat memasuki sisi interes seniman itu dan tidak sampai meluas pada kandungan mentalnya. Sebagai contoh adalah interes seniman yang berkarya karena kebutuhan material.

Berbagai bentuk karya seni merupakan ekpresi identitas, pernyataan seperti ini karena dipengaruhi oleh dua persoalan. Pertama, para peneliti berhasil memasuki kandungan mental seniman yang melahirkan karya-karya otentik, seperti misalnya penelitian Kenneth George tentang kaligrafi Pirous. Persoalan kedua, proses dari pemaknaan suatu karya seni dianggap cukup penting sehingga pada gilirannya karya itu dapat menjadi ajang kontestasi untuk bisa menjadi representasi identitas. Salah satunya adalah contoh dari proses pemaknaan ekpresi seni itu, sangat jelas pada kajian Jennifer Santos tentang kerajinan tangan masyarakat desa Tegallalang, Bali.

Dalam kondisi sekarang ini tidak ada lagi karya seni yang mengekpresikan satu identitas, karena katakanlah bahwa identitas nasional dan global telah masuk manjadi bahagian dalam karya seni itu. Paham tentang konsep identitas bergeser menjadi representasi identitas yang tidak lagi merujuk pada satu ciri suatu kelompok masyarakat, tetapi sebagai wadah terjadinya konstestasi. Dengan demikian ekpresi tidak lagi dapat dilepaskan dari politik kebudayaan. Isu yang berkembang pun pindah, karena orang mulai memperhatikan masyarakat heterogen dengan kebudayaan yang sifatnya plural, yang pada gilirannya menjadi bahagian penting dari studi tentang masyarakat multikultural yang menekankan adanya sejumlah besar perbedaan di dalam masyarakat yang plural dan heterogen itu, termasuk identitasnya. Dengan kata lain, konsep multicultural mengakui adanya perbedaan-perbedaan di dalam identitas yang berbeda itu (intra cultural differentiations).

Berkaitan dengan penjelasan ekpresi seni yang tersebut di atas maka pandai besi merupakan bahagian dari ekpresi seni , berawal dari ide dan tertuang dalam penempaan besi dengan model bervariasi, indah dan menarik. Adapun alat-alat perkakas yang dibuat antara lain : perkakas pertanian seperti : cangkul, parang, lham, mata langai dan sebagainya. Alat rumah tangga seperti : geunuku (alat mengukur kelapa), sundak (alat mengupas kelapa), sikin (alat pemotong sayur), parang (alat pemotong kayu), rheun (alat pembelah kayu) lesong beuso (alat menumbuk tepung), cubek (tempat menumbuk sirih), cupeng (alat penutup kemaluan anak perempuan), mandroh dan sebagainya. Alat-alat untuk berburu seperti : tumbak. Peralatan ini merupakan hasil dari pandai besi yang dipakai untuk keperluan sehari-hari dan berkembang menjadi mata pencaharian masyarakat. Topik kajian kita kali ini adalah rencong. Rencong sangat terkenal sebagai alat senjata untuk mempertahankan diri dan mengandung makna-makna tertentu yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Sejauhmana tehnik pembuatan rencong dan makna-makna yang terkandung di dalamnya maka akan diungkapkan dalam hasil tulisan ini.

Cara Membuat Rencong
Tehnik pembuatan alat-alat dari besi sudah berkembang di daerah Aceh. Di samping dibuat untuk keperluan sendiri, juga untuk dijual ke daerah lain di dalam maupun di luar Aceh. Teknik pembuatannya sudah mencapai tingkat yang baik, barang-barang yang diproduksi sering tidak mencukupi. Hal ini dapat menambah gairah para pekerja untuk memproduksi lebih banyak dan meningkatkan kualitas mutunya, sehingga rencong bentuknya bervariasi serta ukiran-ukiran yang menarik. Para pendatang dari luar daerah banyak yang membawa rencong hias sebagai cindera mata dari Aceh.

Bahagian-bahagian rencong adalah : Hulu rencong ; Ukiran rencong ; Perut rencong ; Ujung rencong ; Batasan rencong. Untuk memperindah rencong maka diperkaya dengan variasi membuat ukiran pada gagangnya. Ukiran-ukiran dari emas digunakan pada hulu, puting dan batang rencong. Bentuk ukiran ini tergantung pada keinginan sipemakai atau penciptanya.

Untuk memperindah seni yang terdapat pada sebuah rencong maka ditambah lagi dengan pembuatan sarungnya. Sarung rencong biasanya dibuat dari kayu ataupun tanduk kerbau dan ada dari gading gajah. Kayu yang dipergunakan antara lain : bak keupula (bunga tanjung), bak panah (batang nangka), bak mee (batang asam jawa) dan lain sebagainya.6 Adapun motif-motif sarung rencong terdiri dari motif fauna dan motif flora. Motif fauna adalah : ukiran ular, naga, ayam jago, burung nuri, kupu-kupu dan sebagainya sedangkan motif flora adalah : gambar-gambar bunga, buah dan daun.

Produksi barang-barang tersebut dibuat pada tempat penempaan besi yang disebut pandei beuso. Tiap pandei beuso (pandai besi) dipimpin oleh seorang utoh beuso (tukang / pandai besi) dan seorang asisten serta para pekerja.

Alat yang digunakan para pandei beuso (pandai besi) antara lain : tungku (tempat menghidupkan api), pompa angin untuk meniup api yang terbuat dari kulit kambing, tempat air untuk menyepuh besi, palu besi, gergaji besi, kikir, alas untuk tempat memukul besi dan membentuk benda yang akan ditempa, Jepitan dan lain-lain. Adapun bahan baku yang dipergunakan : besi biasa, besi baja, besi hancuran, tembaga dan besi putih dengan catatan besi tidak boleh berkarat.
Besi untuk membuat rencong harus besi pilihan yang baik dan bebas dari karat, biasanya besi putih agar tidak berkarat, namun boleh juga besi-besi lain, ini tergantung pada keinginan sipembuat atau sipembeli. Besi putih lebih mahal harganya dari pada besi biasa . Ada juga rencong yang dibuat dari besi yang dicampur dengan sedikit tembaga atau kuningan ataupun emas. Hal ini penting kalau sekiranya ada orang yang mempunyai ilmu ghaib (magic) terhadap senjata dari besi, maka dengan adanya tembaga atau emas pada rencong tersebut maka diperkirakan kekebalan ilmunya akan berkurang. Lain halnya dengan besi untuk membuat pisau dapur , ini cukup besi apa saja. Untuk membuat parang ini memerlukan besi yang keras agar parang tersebut tidak lembek atau patah (biasanya per motor atau besi rel kereta api) dan nantinya dapat menghasilkan parang yang tajam

Seni Rencong
Rencong termasuk salah satu hasil seni tradisional, sejak zaman dahulu rencong dalam penggunaannya berfungi sebagai berikut : Sebagai perhiasan ; rencong ini dipergunakan sehari-hari sebagai perhiasan (pakaian) yang diselipkan di pinggang ; Sebagai seni (seni ukir) dan sebagai alat kesenian seperti dipakai dalam pertunjukkan tari seudati ; Rencong sebagai perkakas dipergunakan sebagai alat pelobang pelepah rumbia dan sebagainya ; Rencong sebagai senjata perang untuk menghadapi musuh-musuh peperangan yang ingin menjajah Aceh seperti Inggris, Belanda dan sebagainya. Menurut catatan sejarah rencong mulai dipakai pada masa Sultan Ali Mugayatsyah memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1514-1528. Pada waktu itu masih berorientasi pada kepercayaan Islam yang sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial budaya masyarakat di daerah aceh. Sehingga kedudukan rencong adalah sebagai berikut : gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada bahagian sikunya merupakan aksara Arab Ba ; Bujuran gagang tempat genggaman berbentuk aksara Arab Sin ; Bentuk-bentuk lancip yang menurun ke bawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan aksara Arab Mim ; Lajur-lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara Arab Lam dan ujung yang runcing sebelah atas mendatar dan bahagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan aksara Arab Ha. Dengan demikian rangkaian dari aksara BA, MIM, LAM dan HA itu mewujudkan kalimah “BISMILLAH”. Ini berkaitan dengan jiwa heroic dalam bentuk senjata tajam yang dipakai sebagai senjata perang untuk mempertahankan agama Islam dari penjajahan orang-orang yang anti Islam. Saat sekarang ini untuk kawasan Aceh Besar tempat penempaan rencong terdapat di desa Bait (Sibreh ) dan desa Lamblang (Darul Imarah). Pada zaman dahulu tempat penempaan ini tersebar di seluruh Aceh Besar yang antara lain : Kampung Pandee ; Seuneulop ; Lam Blang ; Baid ; Ulee Kareng ; Lam Pakuk ; Indrapuri ; Seulimeum ; Lhong dan sebagainya. Namun untuk saat sekarang tempat tersebut ada yang masih diperdayakan dan banyak juga yang sudah tidak diperdayakan lagi. Ini disebabkan oleh faktor kemampuan sumber daya manusia maupun karena keterbatasan modal usahanya.
Jenis-jenis rencong antara lain : Rencong Meupucok, Rencong Meucugek, Rencong Meukuree dan Rencong Pudoi.

1. Rincong Meupucok
Rencong yang mempergunakan ukiran emas pada gagang bahagian atas. Gagangnya kelihatan kecil pada bahagian bawah dan mengembang membesar pada bahagian atasnya. Permukaan pada bahagian atas berukiran emas. Bentuk ukirannya antara lain : Kembang berantai, Kembang daun, Kembang mawar dan ada juga berbentuk aksara Arab. Hulu rencong Meupucok adalah ditutupi dengan ukiran emas pada bahagian atas, dibungkus dengan emas bahagian putingnya dan biasanya terbuat dari tanduk dan gading.

2. Rencong Meucugek
Rencong ini mempergunakan cugek (bergagang lengkung 90 %). Cugek melengkung ke bahagian belakang mata rencong kira-kira 15 cm sehingga dapat berbentuk siku-siku. Cugek ini gunanya efektif tidak mudah lepas dari tangan saat melakukan pembelaan diri, sehingga dapat mmenerkam dan menikam lawan secara bertubi-tubi serta mudah dicabut kembali walaupun sumbunya dalam keadaan berlumuran darah oleh karena cugek sebagai penahan pergelangan tangan bahagian belakang.

3. Rencong Meukuree
Rencong yang mempunyai kuree pada mata. Bentuk kuree bermacam-macam ada yang berbentuk seperti : bunga-bunga ; ular ; lipan ; akar kayu ; daun ; dan kayu-kayuan. Gambar ini bukan sengaja dibentuk, tetapi terbentuk secara sendirinya waktu rencong itu ditempa. Rencong ini berbeda dengan yang lainnya, semakin lama disimpan semakin banyak kureenya dan semakin mahal harganya serta semakin bertambah magisnya.

4. Rencong Pudoi
Pudoi artinya menengah (biasa). Ini dapat di lihat dari gagangnya. Gagang rencong ini tidak sama dengan rencong meupucok, meucugek atau meukuree. Hulu rencong Pudoi adalah pengangan tanpa variasi, kelah (pembungkus bahagian bawah hulu dan puting yang kadang-kadang dibesarkan sedikit agar tidak tertutup dengan gagang yang sederhana bila ditancapkan pada sasarannya. Gagang rencong Pudoi ini tidak ada lengkungnya. Sejarah rencong Pudoi ini mulai tahun 1904 Belanda tidak memperbolehkan memakainya. Sehingga larangan tersebut sangat melukai hati orang Aceh dan bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku pada waktu itu. Maka jalan lain adalah mengelabui peraturan Belanda tersebut dengan cara merubah bentuk rencong meucugek (meucangee) kebentuk lain yaitu rencong rencong Pudoi. Dengan perubahan bentuk maka orang Aceh tetap memakainya tanpa diketahui oleh orang Belanda kecuali diperiksa seluruh badannya. Adapun untuk menyembunyikan keberadaan rencong maka diselipkan di pinggang di bawah kain sarung ataupu celana tanpa di ketahui oleh Belanda, sehingga mereka tidak mematuhi larangan Belanda.

Makna Rencong Dalam Masyarakat Aceh
Rencong salah satu senjata tradisional dan dianggap berkhasiat, tidak sembarangan dalam proses pembuatannya. Cara menempanya dan memilih besi tidak boleh sembarangan seperti membuat jenis senjata tajam lainnya. Terwujudnya sebilah rencong yang berbentuk tulisan Bismillah dengan nama Allah dalam bentuk aksara Arab. Ciri khas dari bentuk gagangnya tampak sangat berlainan dengan senjata-senjata lain di seluruh Indonesia (seperti keris di Jawa). Rencong pada bahagian ujung gagangnya merupakan genggaman tangan sedikit dibengkokkan ke atas, sehingga dengan demikian jika rencong tersebut telah berlumuran darah genggaman tetap tidak akan terlepas. Inilah sebabnya tentara Portugis menjadi kagum menghadapi pasukan Kerajaan Aceh (Sultan Al- Qahar) dalam pertempuran-pertempuran jarak dekat yang telah menggunakan rencong sebagai senjata ampuhnya. Rencong sangat berguna pada masa Kerajaan Aceh, ini dapat dibuktikan dengan terusirnya tentara Portugis di selat Malaka dan mengahalau tentara Portugis yang ingin mencengkram kukunya di Pulau Sumatera.

Dalam masyarakat Aceh terdapat kepercayaan bahwa rencong ada yang berkhasiat dan ini biasanya merupakan warisan yang dipelihara secara turun menurun dan dijaga dengan baik. Rencong pusaka ini tidak boleh dipakai sembarangan saja kalau tidak perlu betul atau dalam kondisi terdesak baru boleh untuk dipakai. Oleh karena rencong mempunyai kekuatan-kekuatan tertentu, serta untuk menjaga kehormatan. Menyimpannya tidak boleh sipemakainya sembarangan tempatnya harus dirahasiakan.

Di samping itu rencong juga memiliki khasiat apabila kita pergi merantau atau berjalan di malam hari dalam gelap maka akan menjadi teman atau kawan, karena makhluk-makhluk seperti :

Jin, Iblis dan Tulueng Dong7 ( secara harfiah artinya tulang atau kerangka manusia yang berdiri), maka rencong dapat melindungi orang tersebut. Ini disebabkan oleh adanya kekuatan gaib yang terkandung dalam rencong pusaka yang diselipkan pada pinggangnya.

Persoalan lain yang dapat membantu dengan adanya rencong pusaka adalah bila ada orang kemasukan, dengan merendam rencong dalam air dan airnya diberi minum kepada orang sakit segera akan sembuh dengan izin Allah. Rencong bahagian pisaunya tidak boleh bergores di tubuh manusia karena akan menimbulkan infeksi yang mengandung racun dan tidak lama kemudian orang itu akan meninggal.

Rencong juga memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggarkan diantaranya bila kita ingin memperlihatkan sebilah rencong kepada kawan tidak boleh kita mengeluarkan dari sarungnya. Apalagi kita sampai mempermainkannya atau menyentik-nyentik ujung yang runcing itu dihadapan kawan ataupun di muka umum, hal itu sangat dilarang. Karena akibatnya akan dapat membawa malapetaka bagi sipemiliknya.

Demikianlah khasiat dan bahayanya rencong, oleh karena itu rencong tidak boleh dipakai oleh sembarangan orang apalagi bagi orang yang tidak sabar. Walaupun demikian rencong pada zaman dahulu menjadi rebutan, masing-masing ingin memilikinya. Karena dengan memiliki rencong status sosial mereka berubah karena dia akan ditakuti, disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan.

Di samping persoalan tersebut rencong memiliki keuntungan bagi sipemakainya untuk dihormati dan mendapat rezeki kemana saja dia pergi dan bila dia dalam keadaan susah atau mendapat musibah maka ada saja yang akan menolong dan membantunya sehingga dia terlepas dari malapetaka atau kesusahannya. Ini merupakan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Aceh pada waktu dahulu, pada zaman sekarang kepercayaan tersebut telah bergeser sesuai dengan pergeseran waktu dan pengetahuan, lagi pula rencong ini bukan benda yang sembarangan tetapi telah menjadi benda yang langka.

Adanya perpaduan antara seni dan budaya Islam dalam penciptaan rencong yang berbentuk tulisan Arab (Bismillah) dengan nama Allah merupakan suatu kekuatan yang sangat sakral dapat mengendalikan peri laku kehidupan ummat manusia dengan Allah selaku penciptanya. Menurut catatan sejarah menyebutkan rencong telah memberikan semangat dan dorongan bagi pejuang zaman dahulu untuk mengusir Belanda dari Aceh, sehingga tentara Belanda banyak yang tewas dengan senjata rencong.

Penutup
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan yaitu :
1. Seni tidak terbatas pada satu ruang lingkup saja, akan tetapi seni meliputi berbagai aspek yaitu : tari, lukisan, ukiran, dan termasuk juga di dalamnya seni kriya. Begitu juga dengan rencong tradisional Aceh, ukiran pada gagang dan model variasinya mengandung perpaduan seni dan budaya Aceh yang Islami. Rencong memiliki bentuk yang indah, bagi masyarakat Aceh tempo dulu rencong sangat berguna, berkhasiat dan juga mahal harganya. Untuk saat sekarang ini rencong tradisional telah menjadi barang yang langka, hanya ada pada orang-orang tertentu dan di tempat penyimpanan-penyimpanan cagar budaya seperti Museum dan di tempat dokumen-dokumen lainnya.
2. Tidak semua masyarakat Aceh dapat membuat rencong, Ini disebabkan oleh tehnik pembuatan yang sulit, biasanya dengan memakai tehnik khusus yang meliputi bahan dan peralatannya.
3. Pada saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia, rencong menjadi senjata yang berguna untuk mengusir penjajahan di Aceh.
4. Usaha pembuatan rencong mestinya dilestarikan dan diberikan motivasi untuk pengembangan usahanya.

Penulis:
Cut Zahrina, S.ag adalah Tenaga Bakti pada Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Download File Asli:
http://www.pintoaceh.com/hb/hb38/cut_hb38_rencong.rar